[ff] Your Exclusive Right (Ch.4/?)
May. 28th, 2013 09:31 pm![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
Tittle : Your Exclusive Right (Ch4/?)
Author :
ritchuuki in collaboration with
shinsakurai
Rating : PG
Gendre : Romance, Angst, AU
Pairing : Sakuraiba, Sakumoto,
Selalu.. selama 5 tahun ini, Jun memohon doa yang sama untuk orang yang sama di hari yang sama...
Dirinya tak meminta apapun, hanya kebahagiaan untuk satu-satunya orang yang masih dicintainya. Walau kebahagiaannya berarti bersama seseorang yang lain dan bukan dirinya...
Desclaimer : Saya tidak memiliki Arashi, mereka hanya seenaknya hidup di pikiran saya.
“Masaki… Kau kah itu? Apa yang terjadi?” tanya Sho khawatir.
Aiba yang duduk di ruang tengah yang masih gelap itu menoleh. “Sho-chan… I-iya ini aku. Kau tidak usah kesini. A-aku…” balas Aiba kebingungan membereskan sesuatu.
“Apa yang terjadi denganmu?” Sho terkejut begitu menyalakan lampu. Ini baru jam 3 pagi, biasanya Aiba baru pulang sekitar jam 5 karena itu Sho merasa aneh. “Masaki… Apa yang terjadi?”
“A-aku terjatuh. A-aku tidak apa-apa. Sungguh!” Aiba berdalih.
Sho menatap Aiba. “Coba lihat! Kau berbohong padaku…” seru Sho setelah berhasil membuat Aiba menoleh padanya. “Kau habis bertengkar? Siapa yang memukulmu…!? Kita ke rumah sakit sekarang!” perintah Sho pada laki-laki yang duduk di sofa. Kemejanya sobek-sobek, bekas tetesan darah dimana-mana. Obat luka di dari kotak p3k berserakan sekitarnya karena Aiba bermaksud menyembunyikan luka-luka itu sebelum Sho tahu.
Aiba melepas tangannya. “Tidak Sho. Aku nggak papa kok! Sungguh! Tidak usah ke rumah sakit. Aku Cuma luka sedikit saja… Tadi tidak sengaja aku kena pukul seseorang. Sungguh aku nggak kenapa-napa kok!” ujar Aiba sedikit kesakitan karena memaksa bicara saat bibirnya sobek.
“Aku tidak percaya. Masaki, buka bajumu cepat. Celanamu juga…”
Aiba diam saja.
Sho menjadi gerah lalu bergerak ke depan Aiba lalu membuka kancing kemeja Aiba dengan cepat. Satu pekikan membuat Sho lebih hati-hati membukanya. “Masaki… Sekarang katakan padaku kenapa kau bisa mendapat luka ini,” tanya Sho menatap mata Aiba lurus. Lama kelamaan matanya berkaca-kaca melihat dada penuh Aiba lebam-lebam kebiruan.
Aiba takut. Takut membuat Sho merasa ngeri dan takut membuat Sho merasa khawatir. Takut Sho marah padanya dan meninggalkannya.
“Katakan padaku yang sebenarnya….”
Aiba bingung apa yang harus dikatakannya pada Sho. Dia takut jika Sho marah kepadanya… Karena itu diberanikannya ia berkata jujur, “Ba-baik. Tadi aku bertemu ayahku. Di-dia mendatangiku di host club. Dia meminta uang dan bertanya dimana aku tinggal sekarang. Tetapi aku tidak mengatakan dimana aku tinggal lalu dia memukulku…”
“Kenapa? Kenapa dia memukulmu? Kenapa kau tak mengatakan saja alamat rumah ini?” balas Sho.
“A-aku tak mau dia datang mengganggumu. Dia selalu mengancamku dengan mendekati orang-orang di sekelilingku… Ayahku, aku malu dia bukan orang yang baik. Dia selalu memintaku mengiriminya uang. Dia selalu mencariku kalau ia butuh uang… Dia tidak pernah puas menghancurkan hidup kami… Tapi, dia masih ayahku. Kumohon Sho-chan, kita tidak perlu ke rumah sakit. Dokter pasti akan bertanya kenapa aku bisa terluka seperti ini dan mereka akan melapor pada polisi lalu ayahku akan ditangkap. Aku ti-uhuk!”
“Sudah diamlah dulu!” Sho kaget Aiba tersedak dan mulutnya mengeluarkan darah.
Tanpa sadar airmatanya menetes.
“Kau bisa berjalan ke kamarku…?” tanya Sho parau.
Aiba mengangguk. Dia lalu berdiri dan pelan-pelan berjalan menuju kamar Sho. Sho membereskan peralatan p3k disana dan membawanya mengikuti Aiba.
Sho memindahkan badannya ke dekat Aiba setelah Aiba berbaring di ranjang Sho. “Kau mau minum…?” tanyanya sambil membuka lengan kemeja Aiba yang sudah sobek-sobek itu dengan gunting. Memperban lengan kiri dan dada kekasihnya.
Aiba menggeleng. Lalu berkata, “Sho-chan, maaf aku membuatmu menangis…”
Sho baru sadar sedari tadi air matanya tak berhenti mengalir. Sho lalu mengusapnya. “Ii yo, asal kau tidak melakukan hal ini lagi. Aku akan memaafkanmu.”
Aiba mengangguk.
“Kalau sakit bilang sakit…” ucap Sho menarik perban di perut Aiba supaya kencang.
“Sakit…”
“Huft… Maaf. Aku akan lebih halus lagi. Semoga tidak ada luka di organmu ataupun patah tulang. Setelah ini aku akan mencari obat, kau berusahalah tidur.”
Aiba mengangguk meringis. Sho berusaha tersenyum.
“Kita tidak jadi kencan pasti ya.... Maaf, aku mengacaukan hari ini.”
“Hush.... Bukan salahmu kan?”
“...”
Setelah selesai mengobati luka luar Aiba, Sho meninggalkan kamar itu. Sho miris melihat luka-luka dibadan, wajah, tangan dan kaki kekasihnya. Sho berputar mencari apotek yang buka sepagi itu. Di perjalanan pulang saat dia merasa matahari sudah cukup cerah, Sho menyempatkan menelepon kantornya untuk meminta libur. Dia tidak pernah menyangka bahwa setahun tidak mengambil cuti membuatnya dengan mudah mendapatkan libur.
Sho segera kembali ke rumah. Menyiapkan bubur dan membangunkan Aiba.
“Masaki… Bangun. Kau harus makan sesuatu sebelum minum obatnya. Pereda rasa nyeri… Kau pasti membutuhkannya…” bisik Sho di telinga Aiba.
Pucat Aiba membuka matanya. “Sho-chan… Suapi aku…”
“Hai-hai… tapi kau harus menghabiskannya….”
Aiba mengangguk lalu bangkit, merangkak untuk duduk ke ujung ranjang yang lebih tinggi.
Sho menyuapi sendok demi sendok ke mulut Aiba. Pria itu seperti marah akan sesuatu tapi tidak tahu apa dan siapa yang harus ia marahi. Sho hanya diam membuat laki-laki dihadapannya menjadi cemberut.
“Kenapa? Tidak enak…?” tanya Sho melihat wajah kekasihnya.
“Bukan. Wajahmu jadi seram, Sho-chan…”
“Lalu aku harus berwajah gembira melihatmu babak-belur begini…?”
“… Yaaa, tidak sih.”
“Buka mulutmu!”
Aiba mengangguk lalu membuka mulutnya. Aiba makan dengan lahap sampai mangkuk buburnya bersih.
“Maaf aku tidak bisa halus, tidak bisa menunjukan perhatianku dengan tulus…” Sho berkata setelah ia menyuapkan sendok terakhirnya ke mulut Aiba dan kemudian meminumkan beberapa butir obat.
“A-aku yang selalu merepotkanmu… Aku malah hanya menyusahkanmu…”
Sho diam saja. Lalu mendesah panjang.
“Sho…?”
Sho lalu memeluk Aiba pelan-pelan. Membuat Aiba bertanya…
“Sho-chan…?”
“Sepertinya dalam hubungan ini, kita terlalu banyak berpikir. Sudahlah... Mari tidak usah terlalu banyak berpikir lagi. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu. Itu saja…” ucap Sho dengan nada suara rendahnya di balik pelukan membuat Aiba membalas pelukannya.
“Aku juga….”
“AIBA! Apa yang terjadi denganmu…!?” teriak orang di balik telephone. Sahabatnya.
“A… Aku sudah tidak apa-apa, Jun. Aku baik-baik saja. Hehehe… Ke sini donk, jenguk aku! Aku sudah bertanya pada Sho-chan dan dia memperbolehkan temanku datang. Cuma kau yang ingin kukabari kan?” gurau Aiba.
“Apa yang terjadi? Apa ayahmu lagi? Kau tidak minta bantuanku? Kenapa baru sekarang menghubungiku!” gemas Jun. Aiba baru saja mengirimi dia email dengan foto bergambar wajah temannya yang penuh lebam. Jun jadi sangat cemas…
“Kalau aku menghubungimu kemarin pasti kau akan mencari ayahku dan membalasnya bukan? Aku tidak mau membuat keributan lagi, sudahlah ke sini saja…” pinta pria itu.
“Hmm… Ke situ?”
“Kemana lagi? Aku belum bisa ke mana-mana. Oh ya, aku juga mau ngasi tahu kalau aku berhenti dari Club. Sho-chan menyuruhku berhenti… Dia menyuruhku tidak usah berhubungan dengan ayahku lagi…”
“Aku setuju, bahkan aku sudah menyarankannya ratusan kali kepadamu tetapi kau sama sekali tidak menghiraukanku…”
“Aku minta maaf. Tapi lupakan dulu soal itu, jadi bagaimana kau mau kan ke tempat Sho-chan? Lagipula sekalian kukenalkan dia padamu, ya… ya… ya? Beberapa hari ini dia cuti untuk merawatku.”, Aiba menyunggingkan senyumnya lebar-lebar, sangat antusias.
Jun terdiam sesaat, memikirkan alasan agar ia tidak usah bertemu dengan Sho.
“Sebenarnya akhir-akhir ini aku sibuk sekali, ada pesanan bunga dari luar kota. Aku bersyukur karena pacarmu sudah ada untuk merawatmu, lagipula aku tidak mau mengganggu saat-saat kalian berduaan. Maaf sekali lagi, Masaki, mungkin lain waktu. Semoga cepat sembuh, dan… kau harus menepati janjimu untuk tidak akan bertemu ayahmu lagi. Kalau aku melihatmu terluka, tidak peduli, akan kucari ayahmu, dan kubalas dia. Bye.”
“Tapi kan kalau—ah, sudah diputus. Dasar, Jun…”, Aiba menggerutu sambil meletakkan gagang telephone-nya.
Jun memang sengaja mematikan telephone-nya, mencegah Aiba untuk berargumen lebih lanjut soal ajakannya ke apartemen Sho, karena kadang temannya itu bisa menjadi sangat keras kepala.
“Hmm… mungkin ide bagus kalau aku dan Sho-chan saja yang mengunjunginya…”, Aiba bergumam pelan kepada dirinya sendiri.
“Sho-chan…”, Aiba memanggil Sho yang sepertinya sedang berkutat dengan sesuatu di ruang tengah.
“Ya? Kau perlu sesuatu?”, Sho masuk ke kamar dengan kursi rodanya.
“Tidak sih, cuma ingin menyampaikan sesuatu. Apa kau mau menemaniku jalan-jalan setelah aku sedikit baikan, umm.. besok atau lusa?”
“Boleh saja, memang mau ke mana?”
“Sepertinya temanku sibuk, jadi dia tidak bisa kemari. Tidak ada salahnya kan kita memberinya kejutan? Aku ingin memperkenalkan pacar terbaikku, yang tampan, padanya..”, Aiba tersenyum semanis yang dia bisa, dengan tatapan merajuk.
“Hmm.. te-tentu. Terserah padamu saja.”, jawab Sho dengan muka merah padam.
Hari itu cuaca cerah, sempurna untuk keluar. Aiba terlihat begitu gembira akhirnya bisa menghirup udara luar setelah 3 hari dipaksa Sho untuk istirahat total di dalam rumah. Matanya berbinar-binar ketika melihat pemandangan dari kaca jendela mobil.
“Kita sudah sampai, itu dia toko bunga temanku.”, ujar Aiba kepada Sho setelah berbelok di gang kedua.
Sho memandang rumah sederhana berwarna putih dengan beranda kecil di lantai duanya. Hampir seluruh rumah itu dipenuhi tanaman. “Aku penasaran dengan temanmu itu.”, balas Sho sambil tersenyum kepada Aiba kemudian.
“Menurutmu orang seperti apa dia?”
“Umm.. lembut?”
Aiba tertawa.
“Kenapa kau malah tertawa, Masaki?”
“Sebenarnya dia agak sedikit galak dan keras kepala sebenarnya.”
“Kalau begitu mungkin kita bisa cocok berteman.”, Sho balik menjawab dengan nada bercanda sambil menaikkan alisnya.
“Ya, kurasa kalian akan nyambung, sama-sama suka memarahiku.”, ujar Aiba sambil memanyunkan bibirnya. “Tetapi dia sebenarnya orang yang sangat baik, dia selalu memperhatikanku.”, lanjutnya.
“Ah.. begitu… baguslah.”, balas Sho dengan nada datar.
“Kau cemburu, Sho-chan?”
“Tidak juga. Ayo kita turun.”, ujar Sho agak menggerutu.
Aiba mendorong kursi roda Sho masuk ke dalam toko.
“Hey, apa tidak apa-apa masuk begitu saja?”, tanya Sho.
“Tenang saja, aku sudah biasa. Kalau dia tidak ada di depan sini, mungkin dia sedang di halaman belakang. Kutinggal sebentar, Sho-chan.”
“Baiklah. Aku akan menyibukkan diri memilih bunga untukmu.”, sahut Sho menggoda Aiba, melajukan kursi rodanya melihat-lihat. Aiba hanya bisa tersenyum malu.
Tetapi tepat saat Aiba akan masuk, Jun sudah berada di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan toko depan.
“Masaki! Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya beristirahat? Apa kau sudah sembuh?”, Jun terkejut begitu melihat temannya ada di rumahnya.
“Aku sudah lumayan baikan. Kau tidak mau menjengukku sih, jadi kubawa Sho-chan kemari.”
Mata Jun membulat mendengar kata-kata Aiba. “Ka-kau.. membawanya kemari?”, ujar Jun lebih menyerupai bisikan, menoleh untuk mendapati sosok berkursi roda di hadapannya, yang kini sedang menghadap ke arahnya dengan tatapan yang sama kagetnya dengan Jun.
“Jun, kenalkan ini Sho-chan, pacarku. Sho-chan, kenalkan ini Jun, sahabatku.”, ujar Aiba memperkenalkan mereka.
Mata Sho tiba-tiba menajam, dari Jun beralih ke Aiba. “Kita pulang sekarang, Masaki.”
“Eh? Tapi kita baru saja sampai?”, Aiba berkata bingung, tanpa sedikitpun mengerti situasi yang sedang terjadi.
“Aku bilang kita pulang sekarang!”, bentak Sho sambil menjalankan kursi rodanya ke arah luar.
“Tunggu, Sho-chan! Maaf, Jun..”, didapatinya Jun sudah tidak ada di hadapannya. “Jun?”
Dan Aiba melihat Jun bersembunyi di balik dinding di dekat pintu, air mata mengalir di pipinya. “Kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian berdua?”, raut muka Aiba berubah khawatir. “Apa kalian sudah saling mengenal?”
“Maaf aku tidak memberitahumu tentang masa lalu kami ketika kau menyebut nama Sho sebelumnya. Sebaiknya kau ikuti dia pulang, Aiba… dan jangan pernah mempertemukan kami lagi, karena kami tidak seharusnya saling bertemu.”
Aiba terlihat sedang memproses sesuatu dalam pikirannya ketika mendengar yang diutarakan Jun. “Tidak… jangan bilang kalau…kau…dia…”
Aiba langsung berlari keluar, untuk memastikannya sendiri kepada Sho.
Dilihatnya Sho tertunduk di atas kursi rodanya. Aiba mendekat perlahan, kemudian berusaha memandang wajah Sho yang tenggelam dalam tangannya. Ditarik pelan tangan Sho, Aiba melihat air mata pun menggenang di pelupuk matanya.
“Sho-chan, maukah kau menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya? Aku tidak mengerti, kau kenal Jun?”
Sho memandang Aiba, “Kenapa diantara semua orang harus dia yang menjadi sahabatmu? Dia satu-satunya orang yang tak ingin… tidak bisa kulihat.”
“Jun… Jun.. tidak mungkin, apa Jun mantan pacarmu, yang menyebabkan kau… ”, Aiba tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi, tertahan air mata. Dengan lembut Aiba langsung memeluk Sho.
Sementara itu, Jun hanya bisa memandang mereka berdua dari balik kaca tokonya.
Aku benar-benar merindukanmu, Sho. Kalau aku boleh berada di sisimu, maka aku akan memelukmu erat sekarang juga, dan takkan pernah kulepas lagi, karena perasaanku padamu masih sama seperti sebelumnya.
Namun, takdir berkata lain. Mengakui hal ini memang sangat menyakitkan, tetapi aku tahu Masaki lah yang kau butuhkan sekarang…
Aku sudah puas hanya bisa memandangmu bayanganmu dari jauh, menyimpan dalam-dalam kenangan yang pernah terjadi di antara kita.
Semoga kalian bahagia.
Sho terdiam di sisi jendela yang terbuka. Memandang jauh, melamun.
Aiba menarik nafas panjang, membawakan secangkir teh untuk Sho.
“Terima kasih, Masaki…”
“Maaf, aku tidak tahu. Maaf, aku mempertemukan kalian.”
Sho menoleh kepada Aiba, dilihatnya kekasihnya itu hampir menangis lagi. Sho menggeleng sambil menyentuh lembut sisi wajah Aiba. “Seharusnya aku yang minta maaf, Masaki. Kau tidak tahu apa-apa aku malah membentakmu, tiba-tiba menyuruh pulang, aku tahu dia sahabat baikmu.”
“Sho-chan… apa kau sangat membencinya?”
“Aku tidak membencinya, hanya… kau mengerti kan? Lebih baik bagiku dan dia untuk tidak bertemu lagi.”
“Aku mengerti…”, jawab Aiba sambil berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh.
“Sebenarnya aku senang melihatnya baik-baiknya, menjalani hidupnya. Bagaimana pun sebelum kami berpacaran, dia juga sahabatku.”, Sho berhenti sesaat teringat sesuatu, dan memandang Aiba. “Toko bunga?”
“Eh?”
“Bukankah seharusnya dia…”, Sho memberi jeda dalam kalimatnya sebelum melanjutkan, “Apa dia masih suka membalap?”
“Membalap? Ah, dia pernah bercerita kalau dia seorang pembalap dulu, tetapi dia sudah menyerah akan mimpinya itu. Jun bilang tidak akan pernah menyentuh dunia balap lagi… seumur hidupnya.”, Aiba tiba-tiba memahami sesuatu.
“Apa? Seumur hidupnya?”
Sho memandang nanar cangkir the di tangannya. Sho teringat kalau Jun selalu mengatakan bahwa dunia balap adalah hal kedua yang terpenting dalam hidupnya setelah… Sho. Jiwanya, bakatnya, hidupnya seluruhnya ada di sana. Sho merasa hatinya seperti dihantam sesuatu yang sangat berat, perasaan bersalah. Apakah Jun meninggalkan dunia balap karena insiden itu? Karena dia membuat Sho lumpuh.
“Sho-chan… kenapa malah jadi kau yang menangis? Apa ada hubungannya dengan hal yang kau tanyakan tadi?”
Sho tidak sadar, air mata ternyata sudah mengalir di pipinya.
“Sepertinya aku telah menghancurkan mimpi seseorang. Aku tidak peka, aku… kenapa aku tidak pernah berfikir kalau dia sebegitu merasa bersalahnya sampai-sampai melepaskan dunia yang sangat berarti baginya. Jun menanggung beban ini sendirian, aku tidak pernah memikirkan perasaannya. Aku jahat, Masaki! Aku sangat jahat!”
“Sh-Sho-chan, tenanglah… ini bukan salahmu. Ini bukan salah siapa-siapa. Jun tidak pernah sekalipun mengeluh tentang pekerjaannya sekarang, percayalah Sho-chan. Itu pilihannya sendiri.”.
Aiba membawa Sho ke dalam pelukannya, mengelus punggung kekasihnya, menenangkannya.
Sho-chan, hanya pelukan ini yang bisa kulakukan untukmu.
Sho… Jun.., kalian orang-orang terpenting dalam hidupku, maafkan aku yang tidak mengerti tentang penderitaan dan pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk masing-masing.
Apakah sebenarnya kalian masih saling mencintai?
Kalau memang itu yang terjadi, aku rela melakukan apa saja untuk mempersatukan kalian berdua kembali. Giliranku sekarang menghapus air mata Sho, karena dia telah berulang kali menghapus air mataku. Aku ingin menjadi kuat untuknya.
Halooo.. Akhirnya memutuskan diupdate dulu. RL membuatku stress. Maaf sekali sangat lama... Kehidupan begitu menyebalkan akhir-akhir ini, semoga semuanya membaik... *hoping* Sebenarnya pingin mencoba berjuang, nggak pingin kalah lagi. Sebulan ini bener-bener kemunduran... =..= maafkan saya, maafkan saya...
Author :
![[livejournal.com profile]](https://www.dreamwidth.org/img/external/lj-userinfo.gif)
![[livejournal.com profile]](https://www.dreamwidth.org/img/external/lj-userinfo.gif)
Rating : PG
Gendre : Romance, Angst, AU
Pairing : Sakuraiba, Sakumoto,
Language : Indonesian
Summary :Selalu.. selama 5 tahun ini, Jun memohon doa yang sama untuk orang yang sama di hari yang sama...
Dirinya tak meminta apapun, hanya kebahagiaan untuk satu-satunya orang yang masih dicintainya. Walau kebahagiaannya berarti bersama seseorang yang lain dan bukan dirinya...
Desclaimer : Saya tidak memiliki Arashi, mereka hanya seenaknya hidup di pikiran saya.
Chapter 1 RightOne
Chapter 2 RightTwo
Chapter 3 RightThree
“Maa-kun. Kau bisa membantuku kembali ke kamar sebelum kau berangkat?” tanya Sho pada cowok yang sedang sibuk melakukan pembukuan di bukunya. Seperti biasa ia menghitung tabungannya.
Masaki senang karena Sho memanggilnya dengan nama itu, lalu menengok mendengar panggilan tersebut sembari tersenyum. “Yosh! Ayo!” katanya dan segera menghampiri kursi Sho. Mengangkat pria kecil di hadapannya. Sho tidak pernah mau dibantu apapun olehnya jika ia menawarkan bantuan. Mereka membuat kesepakatan bahwa Aiba akan membiarkan Sho kecuali Sho lah yang meminta tolong.
“Sekarang kau sangat menyukaiku ya?” tanya Sho pada Aiba.
“Ha…?”
“Dadamu berdebar begitu keras, dan mukamu merah…”
“Uso! Tidak! Kau pasti menggodaku lagi…!”
“Benar, sekarang wajahmu merah sekali…”
“Sho! Aku bisa saja menjatuhkanmu kalau kau terus menggodaku!”
“Kau yang akan menangis kalau kau sampai menjatuhkanku, hahaha…”
“Kau tahu saja…”
Hubungan mereka sama sekali tidak ada yang berubah sejak Aiba datang ke rumah ini, hanya mereka semakin dekat. Semakin Aiba mengenal Sho semakin ia mengagumi dan menyayangi pria di hadapannya ini. Dan sesuatu di masa lalu pria di hadapannya ini... Aiba tidak berani bertanya lebih jauh tentang orang yang membuat Sho sering bermimpi buruk. Dan ia tau, dengan kekeras-kepalaan Sho, dia juga akan sia-sia bertanya jika Sho tidak ingin bercerita walaupun dia sangat ingin mengetahui apa yang dipikirkan Sho dalam hatinya.
“Sho, kapan kau terakhir kali kau ikut rehabilitasi…?”
Pria yang kini sudah duduk di tempat tidur lalu bertanya, “Memangnya kenapa kau tiba-tiba bertanya? Hmm… Mungkin sudah 3 tahun? Sepertinya begitu…”
“Kau tidak mau mencoba rehabilitasi lagi? Tidak… Aku hanya penasaran, aku sedang membaca buku tentang kelumpuhan syaraf. Katanya dengan rehabilitasi teratur kemungkinan untuk bisa berjalan lagi dari kelumpuhan bukanlah sama sekali tidak ada. Kenapa kau tidak mencobanya lagi Sho-chan?” senyum Aiba pada Sho.
Sho lalu mengacak rambut Aiba yang duduk di dekatnya. “Dokter berkata bahwa aku sudah tidak bisa berjalan lagi. Aku tidak suka bermimpi. Orang tuaku juga sudah bisa menerima keadaanku yang seperti ini. Kau keberatan kalau pacarmu orang cacat?” tanyanya memperhatikan mata Aiba.
Rehabilitsi… Sho teringat akan kejadian beberapa tahun lalu ketika ia menjadi sangat temperamen, sering emosi, dan tidak sabaran dalam latihannya di tempat rehabilitasi. Dia benci siapapun, dia benci dirinya sendiri maupun orang lain. Terlebih, ia benci harus berjuang sendirian.
“Aku ingin latihan seperti pasien yang di sana itu! Aku bosan seperti ini!”
“Tetapi Sakurai-san, anda masih jauh untuk bisa melakukan itu…”
Sho mencengkeram kerah instrukturnya dan memukul wajahnya, hingga ia diharuskan kembali ke kamarnya dengan obat penenang.
Namun, salah satu kelebihan Sho adalah dia tak gampang menyerah, terkadang dirinya berlatih hingga kelelahan karena melibihi batas kemampuan tubuhnya.
“Sakurai-san, sudah saatnya anda istirahat, anda bisa melakukannya lagi besok…” seorang perawat berusaha membujuk.
“Tenang saja, kalau terjadi apa-apa denganku, bukan kau yang harus bertanggung jawab,ini keinginanku sendiri. Tinggalkan aku…” balas Sho tanpa ekspresi.
Dan di akhir hari dia akan tertidur sangat lelap, hingga tidak bermimpi apapun. Itu lebih baik, dia ingin menyibukkan dirinya dan melepaskan pikirannya dari Jun. Perlahan dia membangun sebuah tembok besar di dalam hatinya, dia berjanji untuk mematikan semua perasaan apapun yang ada dalam dirinya, dan tidak akan pernah jatuh cinta lagi.
Benar, tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Sho tidak mengerti kenapa sekarang ia bisa berkata bahwa dirinya adalah pacar pria polos dan manis yang berada tak begitu jauh darinya ini. Ia tidak tahu apa dirinya benar-benar mencintai Aiba, ia pun tidak tahu kapan ia jatuh cinta dengan pria ini. Dan ia pun tidak tahu bahwa perasaan sayangnya pada cowok ini bisa disebut cinta. Yang ia sadari, orang ini selalu berada di dekatnya dan ia hanya merasa bahagia karena itu. Itu saja sudah cukup untuk mendeskripsikan semua perasaannya.
“Pacar…?” rona wajah Aiba memerah. Kaget sekaligus senang karena Sho tidak pernah berkata apapun sebelumnya.
“Bukan. Kita cuma teman kan ya?” tanya Sho memutuskan. Sebenarnya menggoda reaksi pria di hadapannya.
“Ahh…! Sho-chan!” wajahnya merah padam kebingungan. Tak tahu lagi apa dia harus menyangkal perasaannya yang semakin jelas terlihat.
Semakin bingung Aiba malah menangis.
Sho mematung kebingungan beberapa menit. “Ehh? Kau menangis….? Maaf… Maaf… Maafkan aku. Aku keterlaluan. Maaf…”
“Bagaimana pun, aku ingin bersama Sho-chan…”
“Aku cuma bercanda…?” jawab Sho binggung.
“Kau bercanda? Kau bercanda mengatakan kau pacarku…? Hidoi!” seru Aiba hampir lari namun tangan Sho menggenggamnya erat.
“Bukan… Bukan… Kau ini…” ujar Sho lembut menarik Aiba dalam pelukannya. Membuat tangis Aiba hilang.
“Sho…?” tanya Aiba dalam pelukan Sho.
“Hmm?”
Aiba memandang mata Sho.
“Nani?” tannyanya. “Jangan lihat aku seperti itu…” Sho kemudian tertawa. “Baiklah-baiklah. Aku hanya akan mengucapkannya sekali. Kau harus mendengarnya baik-baik,” utar Sho balas memandang mata Aiba.
Aiba berusaha memasang kedua telinganya mendengarkan baik-baik.
“Aku menyukaimu. Kau harus jadi pacarku.”
“Itu kedengaran kaya perintah!” sergah Aiba. Dalam hati dia menyembunyikan rasa senangnya.
Sho menutupi wajahnya. “Choo-hazukashii! Aku tidak percaya aku baru saja menembak seseorang! Dan dia laki-laki!”
Aiba tergelagak.
“Nee…? Kita… Pacaran?”
“B-A-K-A!” seru Sho menarik Aiba mendekat dan melahap bibir manis Aiba.
Ciuman pertama mereka terasa begitu hangat… Bibir Sho yang penuh menutup seluruh bibir Aiba. Menghisapnya dalam lumatan yang tiap detik membuat Aiba merasakan sensasi yang begitu menyenangkan. Ciuman mereka bukanlah ciuman panas tetapi ciuman yang manis. Dan ciuman yang sangat didambakan Aiba selama ini membuat Aiba tersenyum dalam berciuman. Lalu akhirnya Sho melepaskan bibirnya.
“U-hu-hu-hu-hu” Aiba lalu terkekek.
“Kenapa tawamu jadi begitu?” tanya Sho separuh alisnya terangkat.
“Tidak. Aku hanya begitu senang…” senyum Aiba pada Sho polos.
Sho mengusap rambut Aiba. “Masaki…, arigatou.”
“Eh? Buat apa?” tanyanya penasaran.
“Kau membuatku bahagia jika aku melihat senyummu…”
“Mou…! Kau membuatku terlalu senang hari ini, aku sampai lupa aku harus bekerja.”
Sho tergelak. “Ya sudah, berangkatlah. Bangunkan aku besok kalau kau sudah pulang. Aku akan membuatkanmu sarapan.”
“Hontou? Baiklah. Tidurlah. Oyasumi… Aku pergi dulu, itte kimasu!” ujar Aiba riang setelah mencium dahi kekasihnya. Berpamitan setelah menaruh kembali kursi roda di sebelah ranjang Sho seperti biasa.
“Hati-hati, kau harus langsung pulang… Itte rasshai…” jawab Sho sambil tersenyum.
Chapter 3 RightThree
“Maa-kun. Kau bisa membantuku kembali ke kamar sebelum kau berangkat?” tanya Sho pada cowok yang sedang sibuk melakukan pembukuan di bukunya. Seperti biasa ia menghitung tabungannya.
Masaki senang karena Sho memanggilnya dengan nama itu, lalu menengok mendengar panggilan tersebut sembari tersenyum. “Yosh! Ayo!” katanya dan segera menghampiri kursi Sho. Mengangkat pria kecil di hadapannya. Sho tidak pernah mau dibantu apapun olehnya jika ia menawarkan bantuan. Mereka membuat kesepakatan bahwa Aiba akan membiarkan Sho kecuali Sho lah yang meminta tolong.
“Sekarang kau sangat menyukaiku ya?” tanya Sho pada Aiba.
“Ha…?”
“Dadamu berdebar begitu keras, dan mukamu merah…”
“Uso! Tidak! Kau pasti menggodaku lagi…!”
“Benar, sekarang wajahmu merah sekali…”
“Sho! Aku bisa saja menjatuhkanmu kalau kau terus menggodaku!”
“Kau yang akan menangis kalau kau sampai menjatuhkanku, hahaha…”
“Kau tahu saja…”
Hubungan mereka sama sekali tidak ada yang berubah sejak Aiba datang ke rumah ini, hanya mereka semakin dekat. Semakin Aiba mengenal Sho semakin ia mengagumi dan menyayangi pria di hadapannya ini. Dan sesuatu di masa lalu pria di hadapannya ini... Aiba tidak berani bertanya lebih jauh tentang orang yang membuat Sho sering bermimpi buruk. Dan ia tau, dengan kekeras-kepalaan Sho, dia juga akan sia-sia bertanya jika Sho tidak ingin bercerita walaupun dia sangat ingin mengetahui apa yang dipikirkan Sho dalam hatinya.
“Sho, kapan kau terakhir kali kau ikut rehabilitasi…?”
Pria yang kini sudah duduk di tempat tidur lalu bertanya, “Memangnya kenapa kau tiba-tiba bertanya? Hmm… Mungkin sudah 3 tahun? Sepertinya begitu…”
“Kau tidak mau mencoba rehabilitasi lagi? Tidak… Aku hanya penasaran, aku sedang membaca buku tentang kelumpuhan syaraf. Katanya dengan rehabilitasi teratur kemungkinan untuk bisa berjalan lagi dari kelumpuhan bukanlah sama sekali tidak ada. Kenapa kau tidak mencobanya lagi Sho-chan?” senyum Aiba pada Sho.
Sho lalu mengacak rambut Aiba yang duduk di dekatnya. “Dokter berkata bahwa aku sudah tidak bisa berjalan lagi. Aku tidak suka bermimpi. Orang tuaku juga sudah bisa menerima keadaanku yang seperti ini. Kau keberatan kalau pacarmu orang cacat?” tanyanya memperhatikan mata Aiba.
Rehabilitsi… Sho teringat akan kejadian beberapa tahun lalu ketika ia menjadi sangat temperamen, sering emosi, dan tidak sabaran dalam latihannya di tempat rehabilitasi. Dia benci siapapun, dia benci dirinya sendiri maupun orang lain. Terlebih, ia benci harus berjuang sendirian.
“Aku ingin latihan seperti pasien yang di sana itu! Aku bosan seperti ini!”
“Tetapi Sakurai-san, anda masih jauh untuk bisa melakukan itu…”
Sho mencengkeram kerah instrukturnya dan memukul wajahnya, hingga ia diharuskan kembali ke kamarnya dengan obat penenang.
Namun, salah satu kelebihan Sho adalah dia tak gampang menyerah, terkadang dirinya berlatih hingga kelelahan karena melibihi batas kemampuan tubuhnya.
“Sakurai-san, sudah saatnya anda istirahat, anda bisa melakukannya lagi besok…” seorang perawat berusaha membujuk.
“Tenang saja, kalau terjadi apa-apa denganku, bukan kau yang harus bertanggung jawab,ini keinginanku sendiri. Tinggalkan aku…” balas Sho tanpa ekspresi.
Dan di akhir hari dia akan tertidur sangat lelap, hingga tidak bermimpi apapun. Itu lebih baik, dia ingin menyibukkan dirinya dan melepaskan pikirannya dari Jun. Perlahan dia membangun sebuah tembok besar di dalam hatinya, dia berjanji untuk mematikan semua perasaan apapun yang ada dalam dirinya, dan tidak akan pernah jatuh cinta lagi.
Benar, tidak akan pernah jatuh cinta lagi. Sho tidak mengerti kenapa sekarang ia bisa berkata bahwa dirinya adalah pacar pria polos dan manis yang berada tak begitu jauh darinya ini. Ia tidak tahu apa dirinya benar-benar mencintai Aiba, ia pun tidak tahu kapan ia jatuh cinta dengan pria ini. Dan ia pun tidak tahu bahwa perasaan sayangnya pada cowok ini bisa disebut cinta. Yang ia sadari, orang ini selalu berada di dekatnya dan ia hanya merasa bahagia karena itu. Itu saja sudah cukup untuk mendeskripsikan semua perasaannya.
“Pacar…?” rona wajah Aiba memerah. Kaget sekaligus senang karena Sho tidak pernah berkata apapun sebelumnya.
“Bukan. Kita cuma teman kan ya?” tanya Sho memutuskan. Sebenarnya menggoda reaksi pria di hadapannya.
“Ahh…! Sho-chan!” wajahnya merah padam kebingungan. Tak tahu lagi apa dia harus menyangkal perasaannya yang semakin jelas terlihat.
Semakin bingung Aiba malah menangis.
Sho mematung kebingungan beberapa menit. “Ehh? Kau menangis….? Maaf… Maaf… Maafkan aku. Aku keterlaluan. Maaf…”
“Bagaimana pun, aku ingin bersama Sho-chan…”
“Aku cuma bercanda…?” jawab Sho binggung.
“Kau bercanda? Kau bercanda mengatakan kau pacarku…? Hidoi!” seru Aiba hampir lari namun tangan Sho menggenggamnya erat.
“Bukan… Bukan… Kau ini…” ujar Sho lembut menarik Aiba dalam pelukannya. Membuat tangis Aiba hilang.
“Sho…?” tanya Aiba dalam pelukan Sho.
“Hmm?”
Aiba memandang mata Sho.
“Nani?” tannyanya. “Jangan lihat aku seperti itu…” Sho kemudian tertawa. “Baiklah-baiklah. Aku hanya akan mengucapkannya sekali. Kau harus mendengarnya baik-baik,” utar Sho balas memandang mata Aiba.
Aiba berusaha memasang kedua telinganya mendengarkan baik-baik.
“Aku menyukaimu. Kau harus jadi pacarku.”
“Itu kedengaran kaya perintah!” sergah Aiba. Dalam hati dia menyembunyikan rasa senangnya.
Sho menutupi wajahnya. “Choo-hazukashii! Aku tidak percaya aku baru saja menembak seseorang! Dan dia laki-laki!”
Aiba tergelagak.
“Nee…? Kita… Pacaran?”
“B-A-K-A!” seru Sho menarik Aiba mendekat dan melahap bibir manis Aiba.
Ciuman pertama mereka terasa begitu hangat… Bibir Sho yang penuh menutup seluruh bibir Aiba. Menghisapnya dalam lumatan yang tiap detik membuat Aiba merasakan sensasi yang begitu menyenangkan. Ciuman mereka bukanlah ciuman panas tetapi ciuman yang manis. Dan ciuman yang sangat didambakan Aiba selama ini membuat Aiba tersenyum dalam berciuman. Lalu akhirnya Sho melepaskan bibirnya.
“U-hu-hu-hu-hu” Aiba lalu terkekek.
“Kenapa tawamu jadi begitu?” tanya Sho separuh alisnya terangkat.
“Tidak. Aku hanya begitu senang…” senyum Aiba pada Sho polos.
Sho mengusap rambut Aiba. “Masaki…, arigatou.”
“Eh? Buat apa?” tanyanya penasaran.
“Kau membuatku bahagia jika aku melihat senyummu…”
“Mou…! Kau membuatku terlalu senang hari ini, aku sampai lupa aku harus bekerja.”
Sho tergelak. “Ya sudah, berangkatlah. Bangunkan aku besok kalau kau sudah pulang. Aku akan membuatkanmu sarapan.”
“Hontou? Baiklah. Tidurlah. Oyasumi… Aku pergi dulu, itte kimasu!” ujar Aiba riang setelah mencium dahi kekasihnya. Berpamitan setelah menaruh kembali kursi roda di sebelah ranjang Sho seperti biasa.
“Hati-hati, kau harus langsung pulang… Itte rasshai…” jawab Sho sambil tersenyum.
~*~
“Masaki… Kau kah itu? Apa yang terjadi?” tanya Sho khawatir.
Aiba yang duduk di ruang tengah yang masih gelap itu menoleh. “Sho-chan… I-iya ini aku. Kau tidak usah kesini. A-aku…” balas Aiba kebingungan membereskan sesuatu.
“Apa yang terjadi denganmu?” Sho terkejut begitu menyalakan lampu. Ini baru jam 3 pagi, biasanya Aiba baru pulang sekitar jam 5 karena itu Sho merasa aneh. “Masaki… Apa yang terjadi?”
“A-aku terjatuh. A-aku tidak apa-apa. Sungguh!” Aiba berdalih.
Sho menatap Aiba. “Coba lihat! Kau berbohong padaku…” seru Sho setelah berhasil membuat Aiba menoleh padanya. “Kau habis bertengkar? Siapa yang memukulmu…!? Kita ke rumah sakit sekarang!” perintah Sho pada laki-laki yang duduk di sofa. Kemejanya sobek-sobek, bekas tetesan darah dimana-mana. Obat luka di dari kotak p3k berserakan sekitarnya karena Aiba bermaksud menyembunyikan luka-luka itu sebelum Sho tahu.
Aiba melepas tangannya. “Tidak Sho. Aku nggak papa kok! Sungguh! Tidak usah ke rumah sakit. Aku Cuma luka sedikit saja… Tadi tidak sengaja aku kena pukul seseorang. Sungguh aku nggak kenapa-napa kok!” ujar Aiba sedikit kesakitan karena memaksa bicara saat bibirnya sobek.
“Aku tidak percaya. Masaki, buka bajumu cepat. Celanamu juga…”
Aiba diam saja.
Sho menjadi gerah lalu bergerak ke depan Aiba lalu membuka kancing kemeja Aiba dengan cepat. Satu pekikan membuat Sho lebih hati-hati membukanya. “Masaki… Sekarang katakan padaku kenapa kau bisa mendapat luka ini,” tanya Sho menatap mata Aiba lurus. Lama kelamaan matanya berkaca-kaca melihat dada penuh Aiba lebam-lebam kebiruan.
Aiba takut. Takut membuat Sho merasa ngeri dan takut membuat Sho merasa khawatir. Takut Sho marah padanya dan meninggalkannya.
“Katakan padaku yang sebenarnya….”
Aiba bingung apa yang harus dikatakannya pada Sho. Dia takut jika Sho marah kepadanya… Karena itu diberanikannya ia berkata jujur, “Ba-baik. Tadi aku bertemu ayahku. Di-dia mendatangiku di host club. Dia meminta uang dan bertanya dimana aku tinggal sekarang. Tetapi aku tidak mengatakan dimana aku tinggal lalu dia memukulku…”
“Kenapa? Kenapa dia memukulmu? Kenapa kau tak mengatakan saja alamat rumah ini?” balas Sho.
“A-aku tak mau dia datang mengganggumu. Dia selalu mengancamku dengan mendekati orang-orang di sekelilingku… Ayahku, aku malu dia bukan orang yang baik. Dia selalu memintaku mengiriminya uang. Dia selalu mencariku kalau ia butuh uang… Dia tidak pernah puas menghancurkan hidup kami… Tapi, dia masih ayahku. Kumohon Sho-chan, kita tidak perlu ke rumah sakit. Dokter pasti akan bertanya kenapa aku bisa terluka seperti ini dan mereka akan melapor pada polisi lalu ayahku akan ditangkap. Aku ti-uhuk!”
“Sudah diamlah dulu!” Sho kaget Aiba tersedak dan mulutnya mengeluarkan darah.
Tanpa sadar airmatanya menetes.
“Kau bisa berjalan ke kamarku…?” tanya Sho parau.
Aiba mengangguk. Dia lalu berdiri dan pelan-pelan berjalan menuju kamar Sho. Sho membereskan peralatan p3k disana dan membawanya mengikuti Aiba.
Sho memindahkan badannya ke dekat Aiba setelah Aiba berbaring di ranjang Sho. “Kau mau minum…?” tanyanya sambil membuka lengan kemeja Aiba yang sudah sobek-sobek itu dengan gunting. Memperban lengan kiri dan dada kekasihnya.
Aiba menggeleng. Lalu berkata, “Sho-chan, maaf aku membuatmu menangis…”
Sho baru sadar sedari tadi air matanya tak berhenti mengalir. Sho lalu mengusapnya. “Ii yo, asal kau tidak melakukan hal ini lagi. Aku akan memaafkanmu.”
Aiba mengangguk.
“Kalau sakit bilang sakit…” ucap Sho menarik perban di perut Aiba supaya kencang.
“Sakit…”
“Huft… Maaf. Aku akan lebih halus lagi. Semoga tidak ada luka di organmu ataupun patah tulang. Setelah ini aku akan mencari obat, kau berusahalah tidur.”
Aiba mengangguk meringis. Sho berusaha tersenyum.
“Kita tidak jadi kencan pasti ya.... Maaf, aku mengacaukan hari ini.”
“Hush.... Bukan salahmu kan?”
“...”
Setelah selesai mengobati luka luar Aiba, Sho meninggalkan kamar itu. Sho miris melihat luka-luka dibadan, wajah, tangan dan kaki kekasihnya. Sho berputar mencari apotek yang buka sepagi itu. Di perjalanan pulang saat dia merasa matahari sudah cukup cerah, Sho menyempatkan menelepon kantornya untuk meminta libur. Dia tidak pernah menyangka bahwa setahun tidak mengambil cuti membuatnya dengan mudah mendapatkan libur.
Sho segera kembali ke rumah. Menyiapkan bubur dan membangunkan Aiba.
“Masaki… Bangun. Kau harus makan sesuatu sebelum minum obatnya. Pereda rasa nyeri… Kau pasti membutuhkannya…” bisik Sho di telinga Aiba.
Pucat Aiba membuka matanya. “Sho-chan… Suapi aku…”
“Hai-hai… tapi kau harus menghabiskannya….”
Aiba mengangguk lalu bangkit, merangkak untuk duduk ke ujung ranjang yang lebih tinggi.
Sho menyuapi sendok demi sendok ke mulut Aiba. Pria itu seperti marah akan sesuatu tapi tidak tahu apa dan siapa yang harus ia marahi. Sho hanya diam membuat laki-laki dihadapannya menjadi cemberut.
“Kenapa? Tidak enak…?” tanya Sho melihat wajah kekasihnya.
“Bukan. Wajahmu jadi seram, Sho-chan…”
“Lalu aku harus berwajah gembira melihatmu babak-belur begini…?”
“… Yaaa, tidak sih.”
“Buka mulutmu!”
Aiba mengangguk lalu membuka mulutnya. Aiba makan dengan lahap sampai mangkuk buburnya bersih.
“Maaf aku tidak bisa halus, tidak bisa menunjukan perhatianku dengan tulus…” Sho berkata setelah ia menyuapkan sendok terakhirnya ke mulut Aiba dan kemudian meminumkan beberapa butir obat.
“A-aku yang selalu merepotkanmu… Aku malah hanya menyusahkanmu…”
Sho diam saja. Lalu mendesah panjang.
“Sho…?”
Sho lalu memeluk Aiba pelan-pelan. Membuat Aiba bertanya…
“Sho-chan…?”
“Sepertinya dalam hubungan ini, kita terlalu banyak berpikir. Sudahlah... Mari tidak usah terlalu banyak berpikir lagi. Aku hanya tidak ingin kehilanganmu. Itu saja…” ucap Sho dengan nada suara rendahnya di balik pelukan membuat Aiba membalas pelukannya.
“Aku juga….”
~*~
“AIBA! Apa yang terjadi denganmu…!?” teriak orang di balik telephone. Sahabatnya.
“A… Aku sudah tidak apa-apa, Jun. Aku baik-baik saja. Hehehe… Ke sini donk, jenguk aku! Aku sudah bertanya pada Sho-chan dan dia memperbolehkan temanku datang. Cuma kau yang ingin kukabari kan?” gurau Aiba.
“Apa yang terjadi? Apa ayahmu lagi? Kau tidak minta bantuanku? Kenapa baru sekarang menghubungiku!” gemas Jun. Aiba baru saja mengirimi dia email dengan foto bergambar wajah temannya yang penuh lebam. Jun jadi sangat cemas…
“Kalau aku menghubungimu kemarin pasti kau akan mencari ayahku dan membalasnya bukan? Aku tidak mau membuat keributan lagi, sudahlah ke sini saja…” pinta pria itu.
“Hmm… Ke situ?”
“Kemana lagi? Aku belum bisa ke mana-mana. Oh ya, aku juga mau ngasi tahu kalau aku berhenti dari Club. Sho-chan menyuruhku berhenti… Dia menyuruhku tidak usah berhubungan dengan ayahku lagi…”
“Aku setuju, bahkan aku sudah menyarankannya ratusan kali kepadamu tetapi kau sama sekali tidak menghiraukanku…”
“Aku minta maaf. Tapi lupakan dulu soal itu, jadi bagaimana kau mau kan ke tempat Sho-chan? Lagipula sekalian kukenalkan dia padamu, ya… ya… ya? Beberapa hari ini dia cuti untuk merawatku.”, Aiba menyunggingkan senyumnya lebar-lebar, sangat antusias.
Jun terdiam sesaat, memikirkan alasan agar ia tidak usah bertemu dengan Sho.
“Sebenarnya akhir-akhir ini aku sibuk sekali, ada pesanan bunga dari luar kota. Aku bersyukur karena pacarmu sudah ada untuk merawatmu, lagipula aku tidak mau mengganggu saat-saat kalian berduaan. Maaf sekali lagi, Masaki, mungkin lain waktu. Semoga cepat sembuh, dan… kau harus menepati janjimu untuk tidak akan bertemu ayahmu lagi. Kalau aku melihatmu terluka, tidak peduli, akan kucari ayahmu, dan kubalas dia. Bye.”
“Tapi kan kalau—ah, sudah diputus. Dasar, Jun…”, Aiba menggerutu sambil meletakkan gagang telephone-nya.
Jun memang sengaja mematikan telephone-nya, mencegah Aiba untuk berargumen lebih lanjut soal ajakannya ke apartemen Sho, karena kadang temannya itu bisa menjadi sangat keras kepala.
“Hmm… mungkin ide bagus kalau aku dan Sho-chan saja yang mengunjunginya…”, Aiba bergumam pelan kepada dirinya sendiri.
“Sho-chan…”, Aiba memanggil Sho yang sepertinya sedang berkutat dengan sesuatu di ruang tengah.
“Ya? Kau perlu sesuatu?”, Sho masuk ke kamar dengan kursi rodanya.
“Tidak sih, cuma ingin menyampaikan sesuatu. Apa kau mau menemaniku jalan-jalan setelah aku sedikit baikan, umm.. besok atau lusa?”
“Boleh saja, memang mau ke mana?”
“Sepertinya temanku sibuk, jadi dia tidak bisa kemari. Tidak ada salahnya kan kita memberinya kejutan? Aku ingin memperkenalkan pacar terbaikku, yang tampan, padanya..”, Aiba tersenyum semanis yang dia bisa, dengan tatapan merajuk.
“Hmm.. te-tentu. Terserah padamu saja.”, jawab Sho dengan muka merah padam.
~*~
Hari itu cuaca cerah, sempurna untuk keluar. Aiba terlihat begitu gembira akhirnya bisa menghirup udara luar setelah 3 hari dipaksa Sho untuk istirahat total di dalam rumah. Matanya berbinar-binar ketika melihat pemandangan dari kaca jendela mobil.
“Kita sudah sampai, itu dia toko bunga temanku.”, ujar Aiba kepada Sho setelah berbelok di gang kedua.
Sho memandang rumah sederhana berwarna putih dengan beranda kecil di lantai duanya. Hampir seluruh rumah itu dipenuhi tanaman. “Aku penasaran dengan temanmu itu.”, balas Sho sambil tersenyum kepada Aiba kemudian.
“Menurutmu orang seperti apa dia?”
“Umm.. lembut?”
Aiba tertawa.
“Kenapa kau malah tertawa, Masaki?”
“Sebenarnya dia agak sedikit galak dan keras kepala sebenarnya.”
“Kalau begitu mungkin kita bisa cocok berteman.”, Sho balik menjawab dengan nada bercanda sambil menaikkan alisnya.
“Ya, kurasa kalian akan nyambung, sama-sama suka memarahiku.”, ujar Aiba sambil memanyunkan bibirnya. “Tetapi dia sebenarnya orang yang sangat baik, dia selalu memperhatikanku.”, lanjutnya.
“Ah.. begitu… baguslah.”, balas Sho dengan nada datar.
“Kau cemburu, Sho-chan?”
“Tidak juga. Ayo kita turun.”, ujar Sho agak menggerutu.
Aiba mendorong kursi roda Sho masuk ke dalam toko.
“Hey, apa tidak apa-apa masuk begitu saja?”, tanya Sho.
“Tenang saja, aku sudah biasa. Kalau dia tidak ada di depan sini, mungkin dia sedang di halaman belakang. Kutinggal sebentar, Sho-chan.”
“Baiklah. Aku akan menyibukkan diri memilih bunga untukmu.”, sahut Sho menggoda Aiba, melajukan kursi rodanya melihat-lihat. Aiba hanya bisa tersenyum malu.
Tetapi tepat saat Aiba akan masuk, Jun sudah berada di ambang pintu yang menghubungkan ruang tengah dengan toko depan.
“Masaki! Apa yang kau lakukan di sini? Bukankah kau seharusnya beristirahat? Apa kau sudah sembuh?”, Jun terkejut begitu melihat temannya ada di rumahnya.
“Aku sudah lumayan baikan. Kau tidak mau menjengukku sih, jadi kubawa Sho-chan kemari.”
Mata Jun membulat mendengar kata-kata Aiba. “Ka-kau.. membawanya kemari?”, ujar Jun lebih menyerupai bisikan, menoleh untuk mendapati sosok berkursi roda di hadapannya, yang kini sedang menghadap ke arahnya dengan tatapan yang sama kagetnya dengan Jun.
“Jun, kenalkan ini Sho-chan, pacarku. Sho-chan, kenalkan ini Jun, sahabatku.”, ujar Aiba memperkenalkan mereka.
Mata Sho tiba-tiba menajam, dari Jun beralih ke Aiba. “Kita pulang sekarang, Masaki.”
“Eh? Tapi kita baru saja sampai?”, Aiba berkata bingung, tanpa sedikitpun mengerti situasi yang sedang terjadi.
“Aku bilang kita pulang sekarang!”, bentak Sho sambil menjalankan kursi rodanya ke arah luar.
“Tunggu, Sho-chan! Maaf, Jun..”, didapatinya Jun sudah tidak ada di hadapannya. “Jun?”
Dan Aiba melihat Jun bersembunyi di balik dinding di dekat pintu, air mata mengalir di pipinya. “Kau baik-baik saja? Apa yang sebenarnya terjadi dengan kalian berdua?”, raut muka Aiba berubah khawatir. “Apa kalian sudah saling mengenal?”
“Maaf aku tidak memberitahumu tentang masa lalu kami ketika kau menyebut nama Sho sebelumnya. Sebaiknya kau ikuti dia pulang, Aiba… dan jangan pernah mempertemukan kami lagi, karena kami tidak seharusnya saling bertemu.”
Aiba terlihat sedang memproses sesuatu dalam pikirannya ketika mendengar yang diutarakan Jun. “Tidak… jangan bilang kalau…kau…dia…”
Aiba langsung berlari keluar, untuk memastikannya sendiri kepada Sho.
Dilihatnya Sho tertunduk di atas kursi rodanya. Aiba mendekat perlahan, kemudian berusaha memandang wajah Sho yang tenggelam dalam tangannya. Ditarik pelan tangan Sho, Aiba melihat air mata pun menggenang di pelupuk matanya.
“Sho-chan, maukah kau menjelaskan apa yang terjadi sebenarnya? Aku tidak mengerti, kau kenal Jun?”
Sho memandang Aiba, “Kenapa diantara semua orang harus dia yang menjadi sahabatmu? Dia satu-satunya orang yang tak ingin… tidak bisa kulihat.”
“Jun… Jun.. tidak mungkin, apa Jun mantan pacarmu, yang menyebabkan kau… ”, Aiba tidak bisa meneruskan kata-katanya lagi, tertahan air mata. Dengan lembut Aiba langsung memeluk Sho.
Sementara itu, Jun hanya bisa memandang mereka berdua dari balik kaca tokonya.
Aku benar-benar merindukanmu, Sho. Kalau aku boleh berada di sisimu, maka aku akan memelukmu erat sekarang juga, dan takkan pernah kulepas lagi, karena perasaanku padamu masih sama seperti sebelumnya.
Namun, takdir berkata lain. Mengakui hal ini memang sangat menyakitkan, tetapi aku tahu Masaki lah yang kau butuhkan sekarang…
Aku sudah puas hanya bisa memandangmu bayanganmu dari jauh, menyimpan dalam-dalam kenangan yang pernah terjadi di antara kita.
Semoga kalian bahagia.
~*~
Sho terdiam di sisi jendela yang terbuka. Memandang jauh, melamun.
Aiba menarik nafas panjang, membawakan secangkir teh untuk Sho.
“Terima kasih, Masaki…”
“Maaf, aku tidak tahu. Maaf, aku mempertemukan kalian.”
Sho menoleh kepada Aiba, dilihatnya kekasihnya itu hampir menangis lagi. Sho menggeleng sambil menyentuh lembut sisi wajah Aiba. “Seharusnya aku yang minta maaf, Masaki. Kau tidak tahu apa-apa aku malah membentakmu, tiba-tiba menyuruh pulang, aku tahu dia sahabat baikmu.”
“Sho-chan… apa kau sangat membencinya?”
“Aku tidak membencinya, hanya… kau mengerti kan? Lebih baik bagiku dan dia untuk tidak bertemu lagi.”
“Aku mengerti…”, jawab Aiba sambil berusaha menahan air matanya yang hampir jatuh.
“Sebenarnya aku senang melihatnya baik-baiknya, menjalani hidupnya. Bagaimana pun sebelum kami berpacaran, dia juga sahabatku.”, Sho berhenti sesaat teringat sesuatu, dan memandang Aiba. “Toko bunga?”
“Eh?”
“Bukankah seharusnya dia…”, Sho memberi jeda dalam kalimatnya sebelum melanjutkan, “Apa dia masih suka membalap?”
“Membalap? Ah, dia pernah bercerita kalau dia seorang pembalap dulu, tetapi dia sudah menyerah akan mimpinya itu. Jun bilang tidak akan pernah menyentuh dunia balap lagi… seumur hidupnya.”, Aiba tiba-tiba memahami sesuatu.
“Apa? Seumur hidupnya?”
Sho memandang nanar cangkir the di tangannya. Sho teringat kalau Jun selalu mengatakan bahwa dunia balap adalah hal kedua yang terpenting dalam hidupnya setelah… Sho. Jiwanya, bakatnya, hidupnya seluruhnya ada di sana. Sho merasa hatinya seperti dihantam sesuatu yang sangat berat, perasaan bersalah. Apakah Jun meninggalkan dunia balap karena insiden itu? Karena dia membuat Sho lumpuh.
“Sho-chan… kenapa malah jadi kau yang menangis? Apa ada hubungannya dengan hal yang kau tanyakan tadi?”
Sho tidak sadar, air mata ternyata sudah mengalir di pipinya.
“Sepertinya aku telah menghancurkan mimpi seseorang. Aku tidak peka, aku… kenapa aku tidak pernah berfikir kalau dia sebegitu merasa bersalahnya sampai-sampai melepaskan dunia yang sangat berarti baginya. Jun menanggung beban ini sendirian, aku tidak pernah memikirkan perasaannya. Aku jahat, Masaki! Aku sangat jahat!”
“Sh-Sho-chan, tenanglah… ini bukan salahmu. Ini bukan salah siapa-siapa. Jun tidak pernah sekalipun mengeluh tentang pekerjaannya sekarang, percayalah Sho-chan. Itu pilihannya sendiri.”.
Aiba membawa Sho ke dalam pelukannya, mengelus punggung kekasihnya, menenangkannya.
Sho-chan, hanya pelukan ini yang bisa kulakukan untukmu.
Sho… Jun.., kalian orang-orang terpenting dalam hidupku, maafkan aku yang tidak mengerti tentang penderitaan dan pengorbanan yang telah kalian lakukan untuk masing-masing.
Apakah sebenarnya kalian masih saling mencintai?
Kalau memang itu yang terjadi, aku rela melakukan apa saja untuk mempersatukan kalian berdua kembali. Giliranku sekarang menghapus air mata Sho, karena dia telah berulang kali menghapus air mataku. Aku ingin menjadi kuat untuknya.
~*~
Halooo.. Akhirnya memutuskan diupdate dulu. RL membuatku stress. Maaf sekali sangat lama... Kehidupan begitu menyebalkan akhir-akhir ini, semoga semuanya membaik... *hoping* Sebenarnya pingin mencoba berjuang, nggak pingin kalah lagi. Sebulan ini bener-bener kemunduran... =..= maafkan saya, maafkan saya...
credits : Makasih banyak buat Shino :O as always~
no subject
Date: 2013-05-28 04:13 pm (UTC)en sakumoto juga sedih~ >,<
tapi masaki kayanya punya rencana tertentu deh.. dia orang yang baik banget sih..
makasih ya en tetap semangat! (o>O<)o
no subject
Date: 2013-05-28 05:02 pm (UTC)Ehem, ternyata menangkap 'sesuatu'nya ya :D *nice work
Tunggu lanjutannya yaa ^^
makasih udah baca~
no subject
Date: 2013-05-28 09:59 pm (UTC):DDDD
no subject
Date: 2013-05-29 06:10 am (UTC)maaf membuat menunggu >
no subject
Date: 2013-05-28 10:47 pm (UTC)kasian semuanya... T.T
semangat, kiki.. buat RL-nya juga.. >_<9
no subject
Date: 2013-05-29 06:41 am (UTC)tinggal selanjutnya bagian dita yg ganbarimasu~ *melempar tanggung jawab akhir cerita pada author satunya #plaaakkk
Makasih banyak dila.... :D