[ff] Your Exclusive Right (Ch.3/?)
Apr. 18th, 2013 10:32 am![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
Tittle : Your Exclusive Right (C.3/?)
Author : ritchuuki in collaboration with
shinsakurai
Rating : PG
Gendre : Romance, Angst, AU
Pairing : Sakuraiba, Sakumoto,
Language : Indonesian
Summary :
Selalu.. selama 5 tahun ini, Jun memohon doa yang sama untuk orang yang sama di hari yang sama...
Dirinya tak meminta apapun, hanya kebahagiaan untuk satu-satunya orang yang masih dicintainya. Walau kebahagiaannya berarti bersama seseorang yang lain dan bukan dirinya...
Desclaimer : Saya tidak memiliki Arashi, mereka hanya seenaknya hidup di pikiran saya.
Chapter 1 RightOne
Chapter 2 RightTwo
Sho merasa agak canggung tetapi Aiba berpura-pura tidak ada apa-apa yang terjadi setelah itu. Dan benar, Aiba melakukannya tanpa perasaan. Ia masih mencintai mantan pacarnya dan merasa sedih karena itu tentu saja, mereka baru saja berpisah. Dan Sho sama sekali tidak tahu apa yang harus di lakukannya sekarang, bahkan setelah beberapa hari sejak kejadian itu.
“Hei kau menangis?” tanya Sho dari balik sofa. Dia baru saja pulang bekerja.
Aiba yang sedang duduk di sofa pun menoleh. “Aku tidak selalu menangis,” sergahnya.
“Kau bisa pulang dan meminta maaf padanya. Kalian bisa berbaikan lagi… Kalian baru beberapa hari berpisah, dan itu pun cuma lewat telepon. Aku yakin kau masih bisa memperbaikinya jika kau mencoba bertemu dengannya sekali lagi…”
“Itu tidak mungkin.”
“Kenapa?” tanya Sho mendekati sofa itu dengan kursi rodanya.
“Aku tahu dia sudah menyukai orang lain, dia hanya tidak mau mengatakan itu padaku Sho-chan… Aku sudah mengatakannya padamu,” ujar Aiba menumpukan wajahnya pada sandaran sofa. Lalu dia memandang Sho lesu.
“Lupakanlah tentang masalahku. Sho, kau pernah pacaran?” tanya Aiba tiba-tiba untuk mengalihkan perhatian, tanpa takut-takut. “Kita kan teman, kau bisa bercerita padaku seperti aku bercerita padamu. Ne… ne…? Jangan bilang kalau kau tidak pernah berpacaran…!”
Sho balas memandangnya, lalu sedikit tertawa, “Kau kira aku anak TK…? Bahkan anak TK sekarang pun sudah berpacaran, dan ya, tentu saja pernah.”
“Ma-maaf aku bukannya mau menyinggungmu, hehe. Lalu? Kapan itu? Jadi kau sekarang sendiri?”
“Seperti yang kau lihat…”
“Kapan itu?” tanya Aiba lagi. “Apakah itu sebelum kakimu tidak bisa digerakkan lagi?” tambah Aiba. “Sudah lama donk!”
“Kenapa kau jadi seperti mewawancaraiku?”
“Sudah kukatakan aku hanya ingin tahu, lagipula aku bukannya temanmu? Kau membiarkan aku yang orang asing untuk menginap di rumahmu itu bukannya paling aneh? Aku sudah tinggal di sini lebih dari seminggu dan aku belum tahu apa-apa tentang kau. Kau bahkan tidak menanyaiku apa pun juga…” ujar laki-laki lebih tinggi itu. Lalu menambahkan, “Sho, kurasa kau butuh seorang teman.”
Sho tetap diam saja.
“Aku punya seorang teman baik, dia selalu menjadi tempatku bercerita. Walaupun terkadang aku tidak bisa langsung terbuka padanya, tapi tiap kali aku ingat aku punya teman yang baik rasanya aku jadi sedikit kuat… Karena kurasa teman itu sangat berharga, kuharap kamu agar memiliki teman juga, kaya aku!”
“…aku paham maksudmu. Ya, maksudmu kau merasa aku terlalu tertutup padamu? Aku hanya tidak pandai bercerita terhadap orang.”
“Aku akan mendengarkan… Ceritakanlah,”
“Tentang diriku..?”
Aiba mengangguk.
“Aku berpacaran beberapa kali saat aku masih sekolah. Aku bahkan sekarang lupa akan nama mereka, lalu apa yang harus aku ceritakan?”
“Mereka cantik-cantik…?”
“Ya. Cantik, mereka cantik.”
“Dulu kau pasti popular… Iya kan? Aku bahkan bisa membayangkan, gadis-gadis yang jadi tamuku di Host club sering bercerita kalau mereka paling suka cowok cool pada zaman sekolah. Kau pasti diantaranya, hehe.”
“Lalu… Apa lagi yang kau ingin tahu?”
“Sejak kapan kakimu nggak bisa digerakkan? Kenapa?”
“Aku berbocengan motor dengan pacarku... Itu sudah lima tahun yang lalu, kami mengalami kecelakaan.”
“Kau memboncengkan pacarmu? Apa pacarmu juga terluka saat itu? Lalu apa yang terjadi dengan kalian?” tanya Aiba makin penasaran dengan jawaban setengah-setengah yang diberikan Sho.
“Aku tidak membonceng pacarku. Dia yang memboncengku…”
“Eh? Seorang wanita…?”
“Dia yang menyetir walaupun aku yang memaksa memboncengnya. Dia laki-laki kau puas?”
“Kau berbohong berkata kau menyukai wanita.”
“Aku memang menyukai wanita, tapi aku tidak tahu bahwa aku juga bisa menyukai pria. Dia tidak pernah memaksaku apapun dan dia sangat perhatian padaku. Dia mengenalku sejak lama dan aku sangat nyaman berada di dekatnya. Aku-aku hanya tak tahu apa yang terjadi padaku saat itu… Aku hanya―”
“Aku tahu. Karena itu yang terjadi juga padaku, kau lupa aku berpacaran dengan laki-laki? Tidak usah malu… Cinta itu tidak mengenal batasan jenis kelamin. Kau mencintainya karena dia adalah dia bukan orang lain bukan…? Itulah yang namanya cinta. Jadi dia cintamu Sho-chan?” tanya Aiba sambil tersenyum.
“Entahlah… Dia hanya masa lalu bagiku.”
“Kenapa?”
“Itu semua terlalu menyakitkan… Aku tidak bisa membuatnya bersamaku… Itu saja,” ujar Sho menatap ke lantai. Satu titik air mata jatuh ke pangkuannya.
Aiba melihat itu dan bergerak mendekap dari belakang punggung Sho yang menggeret kursi rodanya beranjak karena ia tak mau air matanya terlihat. “Sho-chan, setidaknya sekarang kau punya aku dan kau bisa mengandalkanku. Aku merasa aku menyayangimu, entah sebagai sahabat atau apapun…. Aku ingin kau merasa tidak sendiri lagi.”
Sho terisak dalam sunyi. Hanya satu kalimat yang terdengar setelah itu, “Terima kasih, Masaki…”
Hening sesaat ketika Aiba memeluk tubuh Sho semakin kuat. “Ngomong-ngomong, sudah jam 12 lewat. Hari ini hari uang tahunku… Kau tidak boleh bersedih lagi, kita tidak boleh bersedih lagi.”
“Hari ini ulang tahunmu…? Di malam natal?” tanya Sho. Dia menghapus air matanya…
“Benar. Aku tidak pernah mendapatkan perayaan apapun sewajarnya orang berulang tahun. Aku hanya makan kue natal di hari ulang tahunku. Bukankah itu menyedihkan?”
Sho hanya mengangguk, tidak mau memandang Aiba dengan matanya yang sendu bekas menangis barusan.
“Kalau begitu maukah kau merayakannya denganku…? Mari kita lupakan cinta lama kita, karena aku dan kamu sebenarnya memiliki banyak kemiripan…”
“Apa itu?”
“Aku tidak akan mengatakannya,” Aiba tersenyum.
“Baiklah, besok maukah kau kencan denganku…?” tanya Sho akhirnya natap mata Aiba lurus. “Sebagai teman tentu saja… Kau tidak akan tiba-tiba menyerangku karena kau tahu aku pernah berpacaran dengan laki-laki kan…?” gurau Sho sambil tertawa kecil.
Senyuman berusaha ia pertahankan di wajah Aiba, “Tentu tidak! Bukankah sudah kubilang kita hanya akan berteman…? Ya tentu saja. Kita bisa melakukan banyak hal besok. Sekarang sebaiknya kau istirahat, weekend inipun kau terlalu banyak melembur Sho.”
“Kau sendiri selalu pulang pagi hari setelah bekerja tetapi kau selalu mengantarkanku bekal setiap jam makan, kapan kau tidur? Kau tidak terlalu harus memikirkan masalah uang kalau kau berpikir untuk memeriku uang sewa,” tukas Sho berbalik.
Lelaki tinggi itu berjalan dan berjongkok di depan kursi roda Sho lalu dia mengatakan, “Terima kasih sudah memperhatikanku. Sebaiknya kau tidur lebih cepat malam ini agar besok kau siap berkencan denganku. Hari ini aku akan bilang kalau aku mengambil libur untuk besok, dan aku akan menyempatkan tidur dulu sebelum kita pergi.
“Baiklah” ujar Sho merangkulkan badannya di pundak lelaki tinggi itu. “Jangan terlalu banyak minum alcohol malam ini…”
“Aku mengerti, aku akan menolak sake!” Aiba tersenyum mengantarkan laki-laki itu ke kamarnya sebelum Aiba berangkat bekerja. Ia sengaja datang telat karena hari ini dia ingin bertemu Sho di hari lahirnya sebelum ia bertemu orang lain.
Waktu begitu cepat berlalu. Tahun sudah berganti dalam kedipan mata, musim dingin di awal tahun... Jun berdiri, bersandar pada pagar beranda lantai dua toko bunyanya, wajahnya mendongak ke langit. Matanya mengarah ke butiran-butiran salju yang jatuh malam itu sambil sesekali menggosok-gosokkan kedua tangannya karena dingin. Sebenarnya Jun tidak benar-benar memperhatikan butiran salju putih itu, pikirannya melayang kepada hal lain. Jun memandang jam di telepon genggamnya, beberapa menit lagi tepat pukul 12 malam, ulang tahun Sho. Dan tepat malam ini di 5 tahun yang lalu, ia juga menyatakan perasaannya kepada Sho.
Telepon rumah apartemen Sho berbunyi.
“Moshi-moshi…”
“HAPPY BASUDEI~!!!”
Sho tertawa mendengar suara dari seberang sana. “Kau rupanya, Jun. Arigatou”. Kemudian dipandangnya jam dinding di dalam kamar, “Hmm... ternyata sudah jam 12 malam, aku justru lupa kalau ini hari ulang tahunku.”
“Kau terlalu sibuk dengan kuliahmu sih… pokoknya kau harus mentraktirku makan besok,” jawab Jun.
“Tentu, asal kau memberiku kado.”
“Tenang saja, aku sudah menyiapkannya, dan akan kuantarkan kadonya sekarang juga.”
“Eh?”
Suara bel pintu terdengar.
“Tidak mungkin, kau…”
Sho langsung menaruh teleponnya dan berlari menuju pintu depan. Dilihatnya Jun tepat di depan matanya ketika ia akhirnya membuka pintu apartemen.
“Ini kado untukmu... Selamat ulang tahun sekali lagi,” Jun mengacungkan sebuah bungkusan kecil ke arah Sho sambil tersenyum penuh.
Sho yang masih agak terkejut melihat kedatangan Jun, menerima bungkusan itu sambil membalas tersenyum dengan tatapan malu-malu “Dasar... kau ini, Jun. Sejak kapan kau ada di sini? Cepat masuklah sebelum tubuhmu kedinginan.”
Mereka berdua akhirnya masuk ke dalam apartemen, Sho menutup pintu pelan, dan Jun segera melepas dan menggantungkan mantelnya.
“Lihat saljunya menempel di rambutmu, kalau kau sakit bagaimana? Ini tengah malam dan salju turun cukup lebat, kau tidak perlu susah-susah datang kemari,” ujar Sho sambil membersihkan sisa-sisa butiran salju yang menempel di rambut Jun dengan tangannya.
“Aku hanya ingin memberikan kejutan. Dan… Sho… umm.. sebenarnya aku juga ingin menyampaikan sesuatu padamu.” Jun menunduk, sepertinya berusaha memilih kata-kata dalam pikirannya.
“Eh, ada apa? Sikapmu agak sedikit aneh…” diperhatikannya pipi Jun yang memerah.
“Maaf, Sho... mungkin ini tidak wajar bagimu, karena... kita sama-sama laki-laki. Tetapi tak dapat kupungkiri lagi perasaan ini, aku… aku…”, Jun menggigit bibirnya pelan.
“Aku suka padamu, aku… jatuh cinta padamu”, Jun mengakhiri kalimatnya dengan perasaan yang sangat berdebar-debar. Dipandangnya Sho yang berada di hadapannya, dia diam saja, ekspresinya tidak dapat ditebak.
“Ah. Aku.. aku tentu saja tidak memaksamu untuk menerimaku. Aku hanya ingin menyampaikan ini padamu. Aku sudah siap dengan apapun jawabannya, tetapi kuharap karena hal ini tidak mengubah pertemanan kita”, lanjut Jun salah tingkah.
Tiba-tiba, kedua tangan Sho merengkuh wajah Jun dan mendekatkannya kepada wajahnya sendiri. Sho mengecup bibir Jun dengan lembut.
“Eh...?” Jun mengerjap-ngerjapkan matanya sambil memandang Sho tak percaya.
“Ini jawabanku,” balas Sho sambil memandang lekat-lekat ke dalam kedua mata Jun yang mulai berkaca-kaca.
“Ja-jadi kau menerimaku?”, air mata mengalir di pipi Jun.
“Ya…”
Sho kemudian menarik Jun dalam pelukannya.
“Sejak kapan kau menyukaiku?”
“Kurasa.. sejak malam perpisahanmu dari SMA kita…”
“Seharusnya kau mengatakannya lebih cepat…”
Jun tersenyum bahagia dan larut dalam kehangatan dekapan Sho.
Jun mengingat kenangan lain.... kejadian yang sangat wajar saat mereka masih bersama.
Sho memerhatikan Jun yang sedang memasak dari kursi makan.
“Aku senang kau hanya menunjukkannya padaku.”
“Menunjukkan apa?”
“Menjadi tipikal seorang istri yang baik. Memasak dan mengurus rumah.”
Jun pura-pura tersedak dan terbatuk-batuk, “A-apa, istri?! Si-siapa yang istri siapa!”
Sho bangkit dari kursinya dan memeluk Jun dari belakang. “Padahal ketika kau mengendarai sepeda motormu, aku yakin tidak ada wanita yang tidak jatuh hati padamu.”
“Kau tahu kan cita-citaku dari dulu menjadi seorang pembalap. Ngomong-ngomong Sho. Minggirlah dulu, aku sedang memotong sayuran.”
“Iya da,” Sho malah makin mengeratkan tangannya di pinggang Jun dan menyenderkan kepalanya pada punggung kekasihnya itu.
“Sho… aku sedang memegang pisau nih… ”
“Ah… kowai…kowai, baiklah,” Sho melepaskan dirinya dari Jun.
“Oh iya, Jun…”
“Apa lagi sih?” Jun menengok ke arah Sho yang masih berada di belakangnya.
Kecupan kecil mendarat di bibir Jun. Sho tertawa kecil sambil kembali ke kursinya, meninggalkan Jun dengan pipi yang bersemu merah.
Jun menatap kedua tangannya sendiri. Lalu air mata bergenang di sudut mata kanannya. Dia merasa menyesal… Sangat menyesal. Lalu kenapa semua itu bisa terjadi? Semua itu memang salahnya. Seharusnya semua itu tidak perlu terjadi. Dia sudah menghancurkan hidup seseorang dan ini semua adalah kenyataan.
Benar, ini semua adalah kenyataan yang tidak bisa ia ubah. Karenanya ia pantas mendapatkan balasan bahwa dia tidak berhak bahagia hidup di dunia ini.
“Jun!! Tunggu dulu, dengar penjelasanku..”
Sho mengejar Jun yang berjalan cepat ke arah area parkir universitas.
“Apa yang perlu dijelaskan lagi? Aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, kau berciuman dengan mahasiswi itu...!” dengan kesal Jun duduk di atas sepeda motornya.
“Itu salah paham, kami tidak berciuman, dia yang tiba-tiba menciumku.”
“Ah.. begitukah? Tetapi kau menikmatinya bukan?”
Sho menarik tangan Jun,”Hanya ada kau, Jun… tidak ada yang lain...”
Jun menampik tangan Sho dan memakai helmnya .”Selama 3 bulan kita berkencan, kau tidak pernah menyebutkan kata cinta padaku.”
“Apa tidak cukup dengan sikap yang kutunjukkan? Kau tahu kan aku tidak pandai dengan kata-kata semacam itu. Turunlah, kita bicarakan ini, kau mau kemana? Langit mendung.. atau kita bisa memakai mobilku.”
Jun tidak menggubris perkataan Sho, ia tetap menyalakan motornya.
“Kau tetap keras kepala seperti biasanya,” lanjut Sho sambil tiba-tiba membonceng di belakang Jun.
Jun berdecak, lalu mengambil sebuah helm lain dan memberikannya kepada Sho dengan sikap galak dan tanpa repot berkata-kata.
“Jun... kita mau ke mana? Tolong katakan sesuatu, aku benar-benar minta maaf...”
Jun mengendarai motornya dalam diam, dia benar-benar masih menahan kesal, membawa mereka berdua tanpa arah.
“Aku ingin kau mengatakan bahwa kau mencintaiku.”
“Iya.. baiklah, tapi tidak seperti ini. Kita berhenti dulu.”
Jun malah menambah kecepatannya. Rintikan hujan mulai menerpa mereka.
“Lihat, hujan mulai turun.”
“Aku tidak peduli.. aku hanya ingin mendengar kata itu darimu, sekarang!”
“Jun… aku benar-benar tidak mengerti dengan sikapmu...”
“Kalau kau benar-benar mencintaiku, mengucapkannya bukanlah hal sulit, atau kau memang memilih wanita itu?”
Hujan semakin bertambah deras, pemandangan di jalan yang mereka lalui hampir tidak jelas lagi. Jun tidak peduli justru semakin nekat mempercepat laju motornya.
“Jun! Ini berbahaya… kumohon menepilah.”
“Tidak, Sho!”
“Jun…” Sho menghela nafas. “Baiklah… aku mengerti, akan kuturuti permin—”
Terpaan hujan tepat jatuh mengenai wajahnya, jalanan beraspal terasa keras di bawah punggungnya. Jun membuka mata, semuanya blur, kepalanya pusing dan beberapa anggota badannya terasa sakit, yang didengarnya hanya suara derasnya hujan. Jun berusaha duduk kemudian melepaskan helmnya. Hal terakhir yang diingatnya adalah ia berusaha menghindari kendaraan yang tiba-tiba muncul dari arah berlawanan dan melaju ke arah mereka.
Pikiran Jun langsung tertuju pada Sho.
“SHO!!!!!”
Dia terbaring agak jauh dari Jun, tak bergerak. Didekatinya Sho, wajahnya pucat, dia benar-benar tak sadarkan diri. Jun memegang nadi di leher Sho dengan perasaan tak karuan, ia begitu takut kehilangan pria yang sangat dicintainya itu.
Nanar, jari-jari Sho menggenggam tangan Jun.
“Syukurlah kau masih hidup…syukurlah…” ujarnya sambil merengkuh Sho ke dalam pelukan, sebelum akhirnya ia menyadari banyak darah yang mengalir keluar dari tubuh tak berdaya kekasihnya.
“Seseorang panggilkan ambulance!” teriak Jun pada sorang-orang yang kemudian mengerubungi mereka. Kejadian itu mengalir begitu cepat.
“Tolong..selamatkan dia dokter…”, Jun memohon kepada dokter yang membawa masuk Sho ke dalam UGD.
“Kami akan berusaha sebaik mungkin. Sebaiknya anda tunggu di luar dan berdoa. Ah, iya, Suster, tolong rawat pemuda ini juga,” ujar sang dokter.
“Mari ikut saya, anda perlu dirawat, luka anda perlu diobati,” seorang suster mendekati Jun.
“Tidak usah, aku baik-baik saja,” jawab Jun ketus, yang dikhawatirkannya sekarang hanyalah Sho.
“Tetapi luka anda...”
“Aku bilang tidak usah urusi aku! Maaf, tinggalkan aku sendiri.” Jun hanya bisa tertunduk dan menangis frustasi, wajahnya bertopang pada kedua tangannya di bangku tunggu itu, sambil menyesali segala yang terjadi akibat kekeras-kepalaannya, kebodohannya.
Jun menangkupkan kedua telapak tangannya. Menggenggam, mengepalkan tangannya dengan seluruh tenaga. Dia merasakan dadanya berdegup keras mengingat kejadian yang paling menyakitkan baginya. Penyesalan yang akan selalu dirasakannya di sisa umur hidupnya. Bahwa dia tidak bisa bersama dengan Sho… Dan mengapa dirinya membuat kesalahan yang tak termaafkan? Dia sudah tidak bisa bertemu Sho…. Dia tidak berhak bertemu Sho…
“Tenang saja kau pasti akan baik-baik saja, Sho,” Jun menggenggam tangan Sho yang berada di atas kursi roda dengan lembut.
“Baik-baik saja? Kau bilang baik-baik saja? Apanya yang baik-baik saja kalau dokter memvonisku tidak dapat berjalan selamanya!” Sho menampik tangan Jun, mendorongnya agar menjauh dari dekatnya. Nafasnya naik turun dan gemetar.
“Kita akan ke rehabilitasi bersama…” balas Jun sabar.
“Tidak ada kita yang ada hanya aku. Kau tidak perlu merasa bersalah atau mengasihaniku. Dan…” Sho menarik nafas dalam-dalam, kemudian memalingkan muka. “Akhiri saja hubungan kita. Aku tidak mau kau ada di hadapanku lagi, Jun. Pergi!”
“Tidak, Sho, aku tidak akan pergi ke mana-mana. Apapun katamu aku akan tetap berada di sampingmu, karena aku mencintaimu…”
Sho kemudian mengambil vas bunga di atas meja dekat ranjang pasiennya dan tanpa diduga melemparnya kuat-kuat ke samping Jun, dan akhirnya mengenai dinding kamar.
Vas itu pecah berkeping-keping dengan suara keras.
Jun terkejut melihat apa yang dilakukan Sho.
“Kau selalu keras kepala! Aku sudah muak dengan sikapmu. Kukatakan lagi, pergilah.”
“Sho… Kumohon… Biarkan aku bertanggung jawab,” tangis Jun.
“Tanggung jawab…?” Sho tertawa. “Apa yang bisa kau lakukan?”
“Apapun… Apapun akan kulakukan, Sho… Untuk membalas semua ini…”
Sho mengambil pisau buah yang tadi terlempar ke atas ranjang rumah sakit. Dia mengambil dan melemparkannya ke lantai di dekat kaki Jun, ”Kalau begitu matilah.…”
Jun lalu memandangi pisau di kakinya. “Tidak, Sho… Kau tidak akan bahagia kalau aku mati disini. Kau hanya akan menderita karena itu...” air mata mulai mengalir di pipi Jun, suaranya parau.
Semua memori itu membuat air mata Jun kembali mengalir. Jam menunjukkan pukul 12, kini sudah tepat tengah malam.
“Happy birthday, Sho. Selamat ulang tahun yang ke-26. Kalau kau tahu, sampai sekarang pun aku masih sangat… sangat mencintaimu. Permohonanku sama seperti di tahun-tahun sebelumnya, aku berharap kau bisa bahagia.”
“Sho, bangunlah. Aku mendengarmu mengigau… Ada apa?” tanya Aiba setelah menyalakan lampu kamar Sho.
“Masaki… Tolong peluk aku…”
Aiba hanya keheranan, namun dia lalu memeluk Sho dengan sangat erat. “Aku disini… Aku disini… Semua itu hanya mimpi, tidak akan lagi terjadi padamu… Aku jamin itu.”
“hosh… Aku… Kenapa semua itu harus terjadi… hosh,…”
“Kau kenapa Sho-chan?”
“Aku… bermimpi kejadian di masa laluku….”
“Kau sudah banyak menderita Sho-chan, aku tidak akan menbiarkan itu terjadi Sho-chan… Kau punya aku sekarang, kita saling memiliki… Aku, aku sangat menyayangimu… Aku tidak mau kau menderita lagi, lupakanlah semua masa lalumu… Aku dank au sama-sama terluka. Mungkin aku tidak mengenalmu sedalam dia, dan kau pun belum mengenalku baik. Tapi aku menyayangimu. Itu saja sudah cukup, asal perbolehkan aku menyayangimu… Aku tidak akan pernah membiarkanmu sendiri…”
Sho memandang mata Aiba. “Sungguh kau tidak akan menyakitiku…?”
“Aku tahu rasanya tersakiti dan aku tidak mau kita merasakannya lagi… Entah sejak kapan aku jadi sangat menyayangimu dan aku hanya bisa berjanji bahwa aku akan selalu ada untukmu.”
“Aku sangat berterima kasih karena Tuhan mempertemukan kita…”
“Selamat ulang tahun, Sho-chan. Hari ini hari ulang tahunmu.”
“Aku juga sangat berterima kasih karena ternyata Tuhan menghadiahiku dirimu, Masaki…”
Sho melihat punggung Jun berlalu dari hadapannya, akhirnya ia bisa melepaskan semua air mata yang sedari tadi berusaha ditahannya, dalam kesendirian.
Hampir saja dirinya luluh melihat tatapan Jun, dalam hatinya Sho tidak ingin kekasihnya pergi. Tidak ada yang berubah setelah kecelakaan itu, perasaannya masih sama terhadap Jun.
Tetapi Sho sadar, dirinya bukan orang yang bisa diandalkan lagi sekarang, dia tidak bisa apa-apa, dia cacat. Terbiasa hidup mandiri, membuatnya tidak suka bergantung kepada orang lain. Kecacatannya pula akan membuat dirinya sendiri frustrasi, dan Sho takut bila suatu saat dia akan menyakiti Jun dengan menyalahkannya atas insiden ini.
“Arrrrghhhhhhh…!”
Sho berteriak, melempar, dan membanting semua yang ada di dekatnya. Ia tahu siapa yang harus disalahkan. Dirinya sendiri. Bukan Jun…
Sho ingin Jun melupakannya. Mereka selalu saling menyakiti… Mereka tidak bisa bersama lagi. Namun, di sisi lain Sho tahu dia masih ingin bersamanya.
Author’s Note
Shin : thx lgi kiki, msh ngajak saya kolab XD
maaf klo suka lupa setting crita..
Smoga ga ada yg aneh bagian ceritanya dan bsa nyambung...
thx uda baca minna, yoroshiku~
Me : hahaha... ngga tau kenapa cerita ini jadinya begini. but kutulis sebaik mungkin :3
makasih buat Shino like always :D
dan mina-san yang udah baca...^^ semoga updatenya bisa teratur ehe