[ff] Your Exclusive Right (Ch.2/?)
Apr. 14th, 2013 04:57 am![[personal profile]](https://www.dreamwidth.org/img/silk/identity/user.png)
Tittle : Your Exclusive Right (Ch.2/?)
Author :
ritchuuki in collaboration with
shinsakurai
Rating : R
Gendre : Romance, Angst, Smutt
Pairing : Sakuraiba, Sakumoto,
Language : Indonesian
Summary :
Aiba mudah jatuh cinta, namun percintaanya selalu tak bertahan lama. Lalu dia mengenal seorang laki-laki cacat yang duduk di kursi roda… Dan dia mulai jatuh cinta lagi… Namun pria itu sulit menerima dirinya karena suatu hal yang berkaitan dengan masa lalu…
Desclaimer : Sayatidak memiliki Arashi, mereka hanya seenaknya hidup di pikiran saya.
Warning : NOT FOR CHILDREN!
”Kau boleh mandi duluan, kau juga bisa mengambil pakaian kering di lemari dinding. Tidak usah sungkan…. Maaf aku lelah, aku akan beristirahat sebentar.”
“Ah… Hai,” jawab Aiba kikuk.
Aiba lalu memasuki kamar mandi lalu menyalakan shower. Dia tidak percaya dia berakhir dengan menginap di rumah orang yang sama sekali tidak dia kenal sebelumnya. Dia sedikit menyesali perbuatannya tapi ini apa boleh buat.
“Haaah…. Setidaknya aku beruntung hari ini,” gumamnya saat kemudian berendam di air hangat. Aiba menangis lagi teringat seseorang yang ia sayangi yang beberapa saat lalu memutuskannya. Dia hanya menangis diam, dia tidak bisa menangis meluapkan perasaannya keras-keras bahwa dia tidak ingin berpisah. Tapi Aiba tahu dia tidak bisa memaksakan perasaannya pada seseorang yang sudah tidak dapat menerimanya. Itu sudah keputusannya sejak awal… Bahwa dia tidak akan pernah memaksa. Apalagi sesuaatu yang berhubungan dengan perasaan.
Setelah mandi Aiba merasa sedikit segar. Ia memakai pakaian hangat dari dalam lemari. Dan segera keluar untuk memberi tahu tuan rumah bahwa dia sudah selesai memakai ofuro…
Tetapi Aiba mendapati Sho tertidur di kamarnya… Karena itu dia mebereskan belanjaan Sho tadi dan membuat makan malam dengan bahan-bahan yang dibeli Sho. Aiba mulai memasak makan malam sambil sedikit menangis karena dia memotong bawang bombay… Atau dia menangis lagi karena mengingat kekasihnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Sho beberapa puluh menit kemudian ketika ia mendorong kursi rodanya menuju dapur mendapati Aiba hampir menyelesaikan masakannya.
Flat Sho luas sekali untuk ditinggali sendirian, Aiba berani bertaruh bahwa pria cacat ini dari keluarga kaya. Kasihan sekali… Kaya bukan menjadi jaminan bahwa kau bisa mendapatkan apapun, bisik Aiba dalam hati. Walaupun pacarnya meninggalkannya karena alasan sebenarnya yang Aiba tahu adalah karena dia memilih pria yang lebih kaya dari dirinya, Aiba harus menyadari dan menerima itu.
“Ah~ tidak usah kemari. Aku sudah hampir selesai… Kau tunggu saja di meja. Maaf aku sangat lapar jadi aku membuat kare, kuharap kau tidak keberatan.”
“Tidak apa-apa” jawab pria itu datar.
“Kau tinggal sendiri? Sepertinya tidak ada orang lain yang tinggal disini. Maaf tadi aku sempat berkeliling juga,” ujar Aiba sambil mengaduk-aduk karenya.
“Oh...” Sho sedikit merasa aneh. Tapi dia juga tidak mengomentari apapun.
“Gohan dekita yo… Ayo makan!”
“Kau tidak memasakannya karena merasa harus melakukan sesuatu untukku kan?”
“Tidak… Sama sekali. Bukannya tadi aku bilang aku sudah lapar!” sergah Aiba. “Oh ya, bagaimana rasanya…?”
Sho menyendok satu suap kare dari piringnya. “Mazuii… desu kedo,” jawab Sho jujur tanpa mengubah mimik muka seriusnya. “Kau tidak menambahkan cokelat di kare ini kan, yappari.”
“Eh? Tidak enak? Aduh tidak usah dimakan!” teriak Aiba merebut piring tersebut dari Sho namun Sho memukul tangan Aiba.
“Siapa bilang kau boleh mengambilnya kembali… Kau tega ya merampas makanan dari orang cacat!”
“Eh… Bukannya katamu tidak enak? Kenapa malah kau habiskan?” tanya cowok jangkung itu begitu melihat Sho kembali memakan karenya.
“Aku lapar. Sudahlah, lagipula rasa tidaklah penting.”
Aiba lalu diam dan mereka makan dalam kesunyian selama beberapa saat.
“Nee, nee… Kau bahkan tidak mengenal aku. Kenapa kau mengijinkanku menginap di flat mewah seperti ini? Kau tidak takut aku berniat buruk?”
“Kalau kau punya niat buruk kau pasti sudah melakukannya saat aku tertidur tadi. Lagi pula kalaupun kau punya niat buruk aku tidak akan rugi apapun, aku tidak punya benda atau pun sesuatu yang bisa membuatku merasa kehilangan lebih dari semenjak aku berkursi roda.”
Suasana jadi semakin kaku. Mereka kembali makan dalam keheningan.
“Pacarku, mantan pacarku kuralat, itu laki-laki lho. Errr... Kau tidak takut menginap dengan orang yang bukan straight? Kau bukan gay kan?” tanya Aiba memecah keheningan.
“Aku…? Aku tidak pernah menjalin percintaan dengan lelaki kalau maksudmu adalah itu.”
“Oh…”
“Apa pekerjaanmu?” tanya Sho bergantian.
“Aku seorang Host, aku melayani wanita walaupun aku tidak suka wanita… Katanya mereka merasa nyaman dan aman jika bersamaku, soalnya aku ngga bakal pegang-pegang mereka,” ujar Aiba. Dia padahal ingin menambahkan, ‘malah sebaliknya.”
“Aku bisa mengerti.”
“Oh ya… Kita bahkan belum berkenalan, Namaku Aiba Masaki. Ini kartu namaku. ” ujar Aiba menarik dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama kecil.
“Kau mau beresmi-resmian..?” tanya Sho setelah menerima kartu kecil sambil melirik tulisan kecil yang tertera. “Aku meninggalkan kartu namaku di kamar, kuharap kau tidak memintaku mengambilnya…”
“Tenang saja, tidak. Hahaha… Aku hanya ingin memberi tahu cara menghubungiku, aku berhutang padamu setidaknya malam ini.”
“Baiklah… Aku Sakurai Sho, baiklah akan kuingat”, ujar laki-laki berbibir tebal itu sambil mengangguk.
“Oh ya, aku lupa bilang kalau kau boleh memanggilku Masaki. Aku harap kita bisa berteman.”
“Iya… teman? kata yang lama sudah hilang dari kamusku. Benar apa kita bisa berteman…”
“Lama kelamaan aku jadi hafal cara berbicaramu yang sarkatif itu, deh… Kau tidak mau berteman denganku?”
“… mau, tentu saja. Hanya aku sudah lama tidak benar-benar berbicara dengan seseorang… Kau boleh memanggilku Sho kalau begitu.”
“Sho-chan, kau malu yaa…” goda Aiba melihat pipi pria yang duduk di hadapannya sedikit bersemu.
“Kau bekerja setiap malam?” tanya Sho berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Ah… Iya, hampir setiap malam aku bekerja dan pulang pagi…” jawab Aiba. “Sho-chan kau juga bekerja? Sepertinya meja kerjamu di sana sudah berantakan sekali. Apa pekerjaanmu? Sesuatu yang berhubungan desain grafis?”
“Aku mendisain gedung. Tapi aku baru assistant saja... aku sama sekali belum di serahi pekerjaan besar.”
“Waw hebat! Kau bahkan memiliki pekerjaan yang keren! Aku kagum memiliki teman sepertimu!”
“Kau pasti pintar merayu wanita… atau pacarmu,”
Aiba mengacak sendiri rambutnya, “tidak… sama sekali tidak… kau tahu kan aku baru dibuang pacarku. Aku bahkan sampai tidak memiliki tempat tinggal sekarang… bahkan uang untuk makan saja aku tak punya. Huft―Sudahlah…”
Mereka berdua saling menunduk.
“Kau boleh tinggal di sini, di sini luas dan hanya ada aku saja.”
“Aku tidak bisa tinggal di tempat sebagus ini, bahkan kalaupun aku mengatakan bahwa aku akan membayar separuh biaya sewa apartement ini dengan patungan saja sepertinya aku tidak akan mampu. Aku tidak punya uang sama sekali sekarang.”
“Kalau begitu tidak usah bayar, aku pun tidak memintamu untuk membayar sedikitpun. Lagipula ada tambahan satu orang di sini pun tidak akan berpengaruh apa-apa… kau tahu?”
Aiba terdiam, teringat kata-kata mantan kekasihnya bahwa dia akan membuang semua barang Aiba jika dia tidak memberikan alamat ke mana barang-barangnya harus dikirim sebelum besok.
“Tidak mau? Maaf aku tidak memaksamu, aku juga tidak akan mengurusi urusan pribadi orang lain. Aku hanya mau mengatakan bahwa satu kamar di loteng atas bisa kau jadikan kamar kalau kau mau. Aku juga tidak akan memaksamu tinggal bersamaku… Aku terlihat seperti orang cacat yang terlampau senang karena mendapatkan teman baru, hahaha…” Sho lalu mendorong kursi rodanya mundur namun Aiba menangkap gerak roda itu supaya berhenti.
“Bukan. Sungguh aku hanya merasa sungkan… Kalau begitu ijinkan aku mengurus semua urusan rumah dan menjadi assitenmu sampai aku mendapatkan tempat tinggal baru secepatnya!”
“Baiklah kalau kau memaksa.”
“Aku tidak akan mengganggumu atau melakukan hal yang tidak kau suka di rumah ini. Aku juga akan belajar memasak”, tambah Aiba.
“Aku akan sedikit mengajarimu.”
Mereka berdua tertawa.
“Lalu… Kau tidak mandi? Kamar mandimu luas sekali… Seperti kamar mandi yang ada di love hotel saja…” kata Aiba tanpa menyadari kata-katanya terdengar seperti mengajak.
“A-aku akan mandi.”
Sho yang kikuk segera meninggalkan Aiba yang sedang memberesi bekas makan malam mereka.
Tok! Tok!
“Sho…? Biarkan aku menggosok punggungmu. Kau pasti kesulitan,” ujar Aiba yang tanpa menunggu jawaban masuk ke dalam kamar mandi dan mendekati Sho.
“Apa yang kau―”
“Membantumu melepas baju!”
Tangan Sho menangkap pergelangan tangan Aiba, “Aku bisa melakukannya sendiri!”
“Aku tahu kau bisa melakukannya sendiri, tapi aku ingin membantumu. Kita bisa makin akrab… Hahaha! Sepertinya hari ini aku sangat senang karena kita bisa kenalan!”
“Kau tidak berniat lain bukan?”
“Aku tidak pernah menyerang temanku sendiri. Kau bisa pegang kata-kataku… Aku memang suka laki-laki, tapi aku tidak sembarangan. “
“Tentu saja kau akan memilih orang yang sehat. Benar...”
“Sudah diamlah, dan biarkan aku membantumu. Kau tidak perlu malu seperti anak kecil. Bukannya kita sudah sepakat bahwa kau akan biarkan aku membantumu?”
Aiba membuka kemeja Sho sehingga dia duduk tanpa mengenakan atasan. Aiba lalu menarik badan Sho dari kursi roda dan membuatnya bertumpu pada pundak Aiba sementara Aiba melepaskan resleting celana Sho. Sho hanya menatap ke arah lain dari balik pundak Aiba sambil menyembunyikan malu. Dan ketika Aiba akan menyingkirkan potongan terakhir yang menempel pada tubuh Sho, reflek tangan Sho menanggkap tangan Aiba yang berada dekat sekali dengan daerah sensitifnya.
“Ja-jangan…” ujar Sho suaranya serak.
Aiba lalu memandang wajah Sho yang kini menjadi merah. Aiba juga merasa sangat malu... Ia jadi sadar sesuatu. Bahwa perbuatannya kali ini memang sudah melampaui batas privacy.
“Ja-jangan lihat aku,” balas Sho berusaha menyembunyikan wajahnya ke sudut ruangan sempit itu namun dia hanya membuat Aiba menangkap tubuhnya karena oleng. Tubuh mereka kini semakin dekat membuat Sho merasakan debaran tak jelas.
“Kau sungguh tidak akan berbuat apa-apa kan?” tanyanya pada Aiba.
“Ya... Tapi aku bisa melakukan sesuatu untukmu…” jawab Aiba lirih begitu merasakan sesuatu benda menempel dengan keras ke bagian daerah vitalnya. Itu milik Sho.
“Ti-tidak perlu.”
“Kau pasti sudah lama tidak pernah melakukan kebutuhan alamiahmu,” jawab Aiba yakin.
“Aku masih tertarik pada wanita.”
“Ya… Aku tahu, dan aku tidak akan melakukan apapun dengan perasaanku... Sho-chan, aku hanya akan memberikan handjob untuk mengurangi apapun yang kau rasakan sekarang. Percayalah padaku Sho-chan…” ujar Aiba kemudian memegang daerah sensitif Sho yang terasa sangat hangat. Entah apa yang membuat Aiba melontarkan kata-kata itu. Ahhh! Semuanya sudah terlanjur dia ucapkan. Ia tidak bisa mundur...
“Kau selalu melakukan ini dengan pacarmu, Masaki?” tanya Sho menutupi wajahnya dengan mengalihkan pandangan ka arah sudut setelah Aiba mendudukannya di atas bathtub.
“Tidak,… Pacarku lah yang selalu melakukan ini-itu terhadapku, sudah kubilang aku cuma akan membantumu merasa lebih baik, aku tahu caranya….” Aiba menyalakan keran shower berair hangat menyirami sedikit sedikit tubuh pria dengan bahu yang turun dan tulang leher yang menonjol. Dan dengan ritme, Aiba menggerakkan tanggannya perlahan-lahan…
“Lepaskan… Ya lepaskan…” bisiknya di telinga Sho.
“Eh?! Kau sudah putus dengan pacarmu?” Jun membelalakkan matanya mendengar cerita Aiba.
Aiba mengangguk. “Tiga hari lalu, saat aku meneleponmu.”
“Jangan bilang kau benar-benar tak tahu harus tidur di mana malam itu…” tukas Jun sambil memicingkan matanya ke arah Aiba.
Aiba mengangguk lagi sembari tersenyum.
Jun menghela nafas.
“Kau ini, selalu saja tidak pernah terus terang padaku kalau sedang kesusahan! Kalau tahu aku pasti akan mencarikan tempat menginap untukmu. Lalu di mana sekarang kau tinggal?”
“Aku bertemu seseorang, seorang pria, umm.. aku menginap di rumahnya selama tiga hari ini…” Aiba berkata sambil membantu Jun menutup pintu garasi toko bunganya.
Hari sudah senja.
“Kau baru saja putus dan sekarang sudah dapat penggantinya? Wow…Masaki.. sore wa sugoi!”
“Tentu saja bukan, Jun!” pipi Aiba memerah. “Kami hanya berteman. Dan aku hanya menumpang sementara di rumahnya, sampai kudapatkan tempat tinggal baru. Kau tahu aku akan menjual motorku untuk mencari rumah 1LDK yang murah… Kau bisa membantuku mencari kan?” tanya Aiba.
“Dia memberimu tumpangan gratis? Atau…”, Jun memandang Aiba curiga tanpa memperdulikan pertanyaan cowok yang lebih tinggi darinya itu.
“Apa yang kau pikirkan Jun! Dia bukan orang seperti itu kalau maksudmu aku harus membayarnya dengan tubuhku. Dan aku juga tidak mau tinggal menumpang dengan gratis… kau tahu dia itu lumpuh… dan harus duduk di kursi roda. Aku membantunya merapikan rumah, berbelanja dan memasak… Itu kesepakatan kami. Dan sekarang sebenarnya aku akan berbelanja untuk makan malam nanti jadi sekalian aku mampir kemari.”
Jun tertegun mendengar cerita Aiba. Lumpuh? Dalam pikirannya sekarang terlintas akan seseorang. Seseorang yang selalu dicintainya. Satu-satunya.
Dan walaupun sudah bertahun-tahun ia hanya bisa memendam cinta tak terbalasnya, jika ia memikirkannya saat ini… itu akan membuat hati Jun benar-benar sakit.
Lima tahun telah berlalu namun tetap saja cintanya tak berubah, perasaan bersalah itu pun masih bersarang di pikirannya.
“Hey, Jun, kau mendengarku? Kenapa kau jadi melamun…” Aiba berkata. “Tidak biasanya...” tambahnya.
“Tidak apa-apa, hanya teringat seseorang saja. Oh iya, siapa nama orang itu? Lain kali mungkin kau akan mengenalkanku padanya sebagai pacar barumu…” ujar Jun menggoda Aiba.
“Jun! Aku hanya tulus ingin mencoba menjadi sahabatnya. Dan kalau kulihat dari matanya dia sangat… sangat kesepian. Tapi tentu saja kapan-kapan akan kuperkenalkan padamu, sebagai teman tentunya.”
“Kau memang orang baik, Aiba-chan…” Jun menggumam sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Sakurai Sho namanya, dia seorang arsitek… hmm.. dia baru setahun bekerja jadi arsitek sih, sepertinya kelumpuhannya membuat dia harus menunda kuliahnya sampai selesai rehabilitasi.”
PRAK!
Begitu mendengar nama itu, Jun langsung menjatuhkan pot bunga yang sedang dipegangnya.
“Kau ini kenapa sih? Tadi melamun sekarang kau bahkan menjatuhkan sesuatu…” Aiba membantu Jun membereskan pot yang sekarang retak, tanah di dalamnya sedikit berceceran keluar.
“Mungkin aku sedang tidak konsen saja hari ini, sedikit lelah. Banyak pelanggan datang di bulan ini. Eh.. jam berapa sekarang? Bukannya kau mau belanja?”
Aiba memandang arlojinya, “Ahhh… benar! Yabai! Tapi..”
“Sudahlah biar aku yang membereskan ini, terima kasih sudah membantu tadi.”
“Ok.. ah… aku pergi dulu kalau begitu. Jya ne…” ujar Aiba sambil bergegas mengambil motornya yang terparkir.
Jun melihatnya menjauh dari pandangan, sebelumnya punggungnya menghilang di tikungan jalan.
Jun kemudian memalingkan pndangan kea rah sekitarnya. Dilihatnya pot yang retak itu dengan mata nanar. Kenapa takdir sepertinya tidak mau melepaskan mereka berdua.
Jun tidak menduga akan mendengar namanya lagi dari mulut sahabatnya.
Sakurai Sho, seperti pot itu, ia tidak akan pernah kembali seperti dulu. Fisik maupun hatinya. Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, kalau saja Jun tidak menghancurkan hidupnya, tentu ia masih bisa bahagia dengannya, dan mungkin dia menjadi seseorang yang akan selalu berada di sisinya.
Senyuman dan tawa Sho yang selalu menjadi favoritnya, tidak akan pernah dilihatnya lagi ditujukan pada dirinya.
Jun tahu itu.
Jun tahu saat 5 tahun lalu, dilihatnya Sho terkapar bersimbah darah dikarenakan beberapa detik kejadian yang mengerikan itu.
Jun tahu saat Sho sadar di rumah sakit, dia tidak akan bisa menatap Sho seperti sebelumnya lagi… Dia tidak akan mampu membalik kejadian, bahkan jika Jun bersedia bertukar tempat dengan orang yang dia sayangi… Bahkan Tuhan pun tidak akan mengabulkan do’anya…
Author’s Note
~Shin : Kyaa~ fic kolab pertama..XDD merasa terhormat bs diajak kolab bareng saudari kiki..*eaah
Ide dasar murni dari saudari kiki, saya hnya ikut berkhayal dan menambahi sedikit di ch2 sini~
baru ini nulis fic genre romance, dan saya jg ga brni nulis NC, jdi yg itu diserahkan kepada yg lebih ahli...*blush*
doa dr para istri, smga Sho sllu sehat, dan yg terakhir...
Mari budayakan menulis!! O.O9
~Kiki : Maaf ceritanya aku paksain ! Habis sebenernya nggak tahu karena plotnya belum dimatengin blass! Dan dibikin sekali tulis, apa lagi NCnya juga ngga jadi~ Mungkin beum saatnya? LOL *abal banget sih*
Makasih udah baca sampai chapter 2… I hope U like it… Dan makasih Shino karena mau di drag buat nulis pair yang nggak aku kuasai #eh
Minna review please~ dan tunggu next chap di LJ Shin XD~ Salam^^
Author :
![[livejournal.com profile]](https://www.dreamwidth.org/img/external/lj-userinfo.gif)
![[livejournal.com profile]](https://www.dreamwidth.org/img/external/lj-userinfo.gif)
Rating : R
Gendre : Romance, Angst, Smutt
Pairing : Sakuraiba, Sakumoto,
Language : Indonesian
Summary :
Aiba mudah jatuh cinta, namun percintaanya selalu tak bertahan lama. Lalu dia mengenal seorang laki-laki cacat yang duduk di kursi roda… Dan dia mulai jatuh cinta lagi… Namun pria itu sulit menerima dirinya karena suatu hal yang berkaitan dengan masa lalu…
Desclaimer : Saya
Warning : NOT FOR CHILDREN!
”Kau boleh mandi duluan, kau juga bisa mengambil pakaian kering di lemari dinding. Tidak usah sungkan…. Maaf aku lelah, aku akan beristirahat sebentar.”
“Ah… Hai,” jawab Aiba kikuk.
Aiba lalu memasuki kamar mandi lalu menyalakan shower. Dia tidak percaya dia berakhir dengan menginap di rumah orang yang sama sekali tidak dia kenal sebelumnya. Dia sedikit menyesali perbuatannya tapi ini apa boleh buat.
“Haaah…. Setidaknya aku beruntung hari ini,” gumamnya saat kemudian berendam di air hangat. Aiba menangis lagi teringat seseorang yang ia sayangi yang beberapa saat lalu memutuskannya. Dia hanya menangis diam, dia tidak bisa menangis meluapkan perasaannya keras-keras bahwa dia tidak ingin berpisah. Tapi Aiba tahu dia tidak bisa memaksakan perasaannya pada seseorang yang sudah tidak dapat menerimanya. Itu sudah keputusannya sejak awal… Bahwa dia tidak akan pernah memaksa. Apalagi sesuaatu yang berhubungan dengan perasaan.
Setelah mandi Aiba merasa sedikit segar. Ia memakai pakaian hangat dari dalam lemari. Dan segera keluar untuk memberi tahu tuan rumah bahwa dia sudah selesai memakai ofuro…
Tetapi Aiba mendapati Sho tertidur di kamarnya… Karena itu dia mebereskan belanjaan Sho tadi dan membuat makan malam dengan bahan-bahan yang dibeli Sho. Aiba mulai memasak makan malam sambil sedikit menangis karena dia memotong bawang bombay… Atau dia menangis lagi karena mengingat kekasihnya.
“Apa yang sedang kau lakukan?” tanya Sho beberapa puluh menit kemudian ketika ia mendorong kursi rodanya menuju dapur mendapati Aiba hampir menyelesaikan masakannya.
Flat Sho luas sekali untuk ditinggali sendirian, Aiba berani bertaruh bahwa pria cacat ini dari keluarga kaya. Kasihan sekali… Kaya bukan menjadi jaminan bahwa kau bisa mendapatkan apapun, bisik Aiba dalam hati. Walaupun pacarnya meninggalkannya karena alasan sebenarnya yang Aiba tahu adalah karena dia memilih pria yang lebih kaya dari dirinya, Aiba harus menyadari dan menerima itu.
“Ah~ tidak usah kemari. Aku sudah hampir selesai… Kau tunggu saja di meja. Maaf aku sangat lapar jadi aku membuat kare, kuharap kau tidak keberatan.”
“Tidak apa-apa” jawab pria itu datar.
“Kau tinggal sendiri? Sepertinya tidak ada orang lain yang tinggal disini. Maaf tadi aku sempat berkeliling juga,” ujar Aiba sambil mengaduk-aduk karenya.
“Oh...” Sho sedikit merasa aneh. Tapi dia juga tidak mengomentari apapun.
“Gohan dekita yo… Ayo makan!”
“Kau tidak memasakannya karena merasa harus melakukan sesuatu untukku kan?”
“Tidak… Sama sekali. Bukannya tadi aku bilang aku sudah lapar!” sergah Aiba. “Oh ya, bagaimana rasanya…?”
Sho menyendok satu suap kare dari piringnya. “Mazuii… desu kedo,” jawab Sho jujur tanpa mengubah mimik muka seriusnya. “Kau tidak menambahkan cokelat di kare ini kan, yappari.”
“Eh? Tidak enak? Aduh tidak usah dimakan!” teriak Aiba merebut piring tersebut dari Sho namun Sho memukul tangan Aiba.
“Siapa bilang kau boleh mengambilnya kembali… Kau tega ya merampas makanan dari orang cacat!”
“Eh… Bukannya katamu tidak enak? Kenapa malah kau habiskan?” tanya cowok jangkung itu begitu melihat Sho kembali memakan karenya.
“Aku lapar. Sudahlah, lagipula rasa tidaklah penting.”
Aiba lalu diam dan mereka makan dalam kesunyian selama beberapa saat.
“Nee, nee… Kau bahkan tidak mengenal aku. Kenapa kau mengijinkanku menginap di flat mewah seperti ini? Kau tidak takut aku berniat buruk?”
“Kalau kau punya niat buruk kau pasti sudah melakukannya saat aku tertidur tadi. Lagi pula kalaupun kau punya niat buruk aku tidak akan rugi apapun, aku tidak punya benda atau pun sesuatu yang bisa membuatku merasa kehilangan lebih dari semenjak aku berkursi roda.”
Suasana jadi semakin kaku. Mereka kembali makan dalam keheningan.
“Pacarku, mantan pacarku kuralat, itu laki-laki lho. Errr... Kau tidak takut menginap dengan orang yang bukan straight? Kau bukan gay kan?” tanya Aiba memecah keheningan.
“Aku…? Aku tidak pernah menjalin percintaan dengan lelaki kalau maksudmu adalah itu.”
“Oh…”
“Apa pekerjaanmu?” tanya Sho bergantian.
“Aku seorang Host, aku melayani wanita walaupun aku tidak suka wanita… Katanya mereka merasa nyaman dan aman jika bersamaku, soalnya aku ngga bakal pegang-pegang mereka,” ujar Aiba. Dia padahal ingin menambahkan, ‘malah sebaliknya.”
“Aku bisa mengerti.”
“Oh ya… Kita bahkan belum berkenalan, Namaku Aiba Masaki. Ini kartu namaku. ” ujar Aiba menarik dompetnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama kecil.
“Kau mau beresmi-resmian..?” tanya Sho setelah menerima kartu kecil sambil melirik tulisan kecil yang tertera. “Aku meninggalkan kartu namaku di kamar, kuharap kau tidak memintaku mengambilnya…”
“Tenang saja, tidak. Hahaha… Aku hanya ingin memberi tahu cara menghubungiku, aku berhutang padamu setidaknya malam ini.”
“Baiklah… Aku Sakurai Sho, baiklah akan kuingat”, ujar laki-laki berbibir tebal itu sambil mengangguk.
“Oh ya, aku lupa bilang kalau kau boleh memanggilku Masaki. Aku harap kita bisa berteman.”
“Iya… teman? kata yang lama sudah hilang dari kamusku. Benar apa kita bisa berteman…”
“Lama kelamaan aku jadi hafal cara berbicaramu yang sarkatif itu, deh… Kau tidak mau berteman denganku?”
“… mau, tentu saja. Hanya aku sudah lama tidak benar-benar berbicara dengan seseorang… Kau boleh memanggilku Sho kalau begitu.”
“Sho-chan, kau malu yaa…” goda Aiba melihat pipi pria yang duduk di hadapannya sedikit bersemu.
“Kau bekerja setiap malam?” tanya Sho berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
“Ah… Iya, hampir setiap malam aku bekerja dan pulang pagi…” jawab Aiba. “Sho-chan kau juga bekerja? Sepertinya meja kerjamu di sana sudah berantakan sekali. Apa pekerjaanmu? Sesuatu yang berhubungan desain grafis?”
“Aku mendisain gedung. Tapi aku baru assistant saja... aku sama sekali belum di serahi pekerjaan besar.”
“Waw hebat! Kau bahkan memiliki pekerjaan yang keren! Aku kagum memiliki teman sepertimu!”
“Kau pasti pintar merayu wanita… atau pacarmu,”
Aiba mengacak sendiri rambutnya, “tidak… sama sekali tidak… kau tahu kan aku baru dibuang pacarku. Aku bahkan sampai tidak memiliki tempat tinggal sekarang… bahkan uang untuk makan saja aku tak punya. Huft―Sudahlah…”
Mereka berdua saling menunduk.
“Kau boleh tinggal di sini, di sini luas dan hanya ada aku saja.”
“Aku tidak bisa tinggal di tempat sebagus ini, bahkan kalaupun aku mengatakan bahwa aku akan membayar separuh biaya sewa apartement ini dengan patungan saja sepertinya aku tidak akan mampu. Aku tidak punya uang sama sekali sekarang.”
“Kalau begitu tidak usah bayar, aku pun tidak memintamu untuk membayar sedikitpun. Lagipula ada tambahan satu orang di sini pun tidak akan berpengaruh apa-apa… kau tahu?”
Aiba terdiam, teringat kata-kata mantan kekasihnya bahwa dia akan membuang semua barang Aiba jika dia tidak memberikan alamat ke mana barang-barangnya harus dikirim sebelum besok.
“Tidak mau? Maaf aku tidak memaksamu, aku juga tidak akan mengurusi urusan pribadi orang lain. Aku hanya mau mengatakan bahwa satu kamar di loteng atas bisa kau jadikan kamar kalau kau mau. Aku juga tidak akan memaksamu tinggal bersamaku… Aku terlihat seperti orang cacat yang terlampau senang karena mendapatkan teman baru, hahaha…” Sho lalu mendorong kursi rodanya mundur namun Aiba menangkap gerak roda itu supaya berhenti.
“Bukan. Sungguh aku hanya merasa sungkan… Kalau begitu ijinkan aku mengurus semua urusan rumah dan menjadi assitenmu sampai aku mendapatkan tempat tinggal baru secepatnya!”
“Baiklah kalau kau memaksa.”
“Aku tidak akan mengganggumu atau melakukan hal yang tidak kau suka di rumah ini. Aku juga akan belajar memasak”, tambah Aiba.
“Aku akan sedikit mengajarimu.”
Mereka berdua tertawa.
“Lalu… Kau tidak mandi? Kamar mandimu luas sekali… Seperti kamar mandi yang ada di love hotel saja…” kata Aiba tanpa menyadari kata-katanya terdengar seperti mengajak.
“A-aku akan mandi.”
Sho yang kikuk segera meninggalkan Aiba yang sedang memberesi bekas makan malam mereka.
Tok! Tok!
“Sho…? Biarkan aku menggosok punggungmu. Kau pasti kesulitan,” ujar Aiba yang tanpa menunggu jawaban masuk ke dalam kamar mandi dan mendekati Sho.
“Apa yang kau―”
“Membantumu melepas baju!”
Tangan Sho menangkap pergelangan tangan Aiba, “Aku bisa melakukannya sendiri!”
“Aku tahu kau bisa melakukannya sendiri, tapi aku ingin membantumu. Kita bisa makin akrab… Hahaha! Sepertinya hari ini aku sangat senang karena kita bisa kenalan!”
“Kau tidak berniat lain bukan?”
“Aku tidak pernah menyerang temanku sendiri. Kau bisa pegang kata-kataku… Aku memang suka laki-laki, tapi aku tidak sembarangan. “
“Tentu saja kau akan memilih orang yang sehat. Benar...”
“Sudah diamlah, dan biarkan aku membantumu. Kau tidak perlu malu seperti anak kecil. Bukannya kita sudah sepakat bahwa kau akan biarkan aku membantumu?”
Aiba membuka kemeja Sho sehingga dia duduk tanpa mengenakan atasan. Aiba lalu menarik badan Sho dari kursi roda dan membuatnya bertumpu pada pundak Aiba sementara Aiba melepaskan resleting celana Sho. Sho hanya menatap ke arah lain dari balik pundak Aiba sambil menyembunyikan malu. Dan ketika Aiba akan menyingkirkan potongan terakhir yang menempel pada tubuh Sho, reflek tangan Sho menanggkap tangan Aiba yang berada dekat sekali dengan daerah sensitifnya.
“Ja-jangan…” ujar Sho suaranya serak.
Aiba lalu memandang wajah Sho yang kini menjadi merah. Aiba juga merasa sangat malu... Ia jadi sadar sesuatu. Bahwa perbuatannya kali ini memang sudah melampaui batas privacy.
“Ja-jangan lihat aku,” balas Sho berusaha menyembunyikan wajahnya ke sudut ruangan sempit itu namun dia hanya membuat Aiba menangkap tubuhnya karena oleng. Tubuh mereka kini semakin dekat membuat Sho merasakan debaran tak jelas.
“Kau sungguh tidak akan berbuat apa-apa kan?” tanyanya pada Aiba.
“Ya... Tapi aku bisa melakukan sesuatu untukmu…” jawab Aiba lirih begitu merasakan sesuatu benda menempel dengan keras ke bagian daerah vitalnya. Itu milik Sho.
“Ti-tidak perlu.”
“Kau pasti sudah lama tidak pernah melakukan kebutuhan alamiahmu,” jawab Aiba yakin.
“Aku masih tertarik pada wanita.”
“Ya… Aku tahu, dan aku tidak akan melakukan apapun dengan perasaanku... Sho-chan, aku hanya akan memberikan handjob untuk mengurangi apapun yang kau rasakan sekarang. Percayalah padaku Sho-chan…” ujar Aiba kemudian memegang daerah sensitif Sho yang terasa sangat hangat. Entah apa yang membuat Aiba melontarkan kata-kata itu. Ahhh! Semuanya sudah terlanjur dia ucapkan. Ia tidak bisa mundur...
“Kau selalu melakukan ini dengan pacarmu, Masaki?” tanya Sho menutupi wajahnya dengan mengalihkan pandangan ka arah sudut setelah Aiba mendudukannya di atas bathtub.
“Tidak,… Pacarku lah yang selalu melakukan ini-itu terhadapku, sudah kubilang aku cuma akan membantumu merasa lebih baik, aku tahu caranya….” Aiba menyalakan keran shower berair hangat menyirami sedikit sedikit tubuh pria dengan bahu yang turun dan tulang leher yang menonjol. Dan dengan ritme, Aiba menggerakkan tanggannya perlahan-lahan…
“Lepaskan… Ya lepaskan…” bisiknya di telinga Sho.
~*~
“Eh?! Kau sudah putus dengan pacarmu?” Jun membelalakkan matanya mendengar cerita Aiba.
Aiba mengangguk. “Tiga hari lalu, saat aku meneleponmu.”
“Jangan bilang kau benar-benar tak tahu harus tidur di mana malam itu…” tukas Jun sambil memicingkan matanya ke arah Aiba.
Aiba mengangguk lagi sembari tersenyum.
Jun menghela nafas.
“Kau ini, selalu saja tidak pernah terus terang padaku kalau sedang kesusahan! Kalau tahu aku pasti akan mencarikan tempat menginap untukmu. Lalu di mana sekarang kau tinggal?”
“Aku bertemu seseorang, seorang pria, umm.. aku menginap di rumahnya selama tiga hari ini…” Aiba berkata sambil membantu Jun menutup pintu garasi toko bunganya.
Hari sudah senja.
“Kau baru saja putus dan sekarang sudah dapat penggantinya? Wow…Masaki.. sore wa sugoi!”
“Tentu saja bukan, Jun!” pipi Aiba memerah. “Kami hanya berteman. Dan aku hanya menumpang sementara di rumahnya, sampai kudapatkan tempat tinggal baru. Kau tahu aku akan menjual motorku untuk mencari rumah 1LDK yang murah… Kau bisa membantuku mencari kan?” tanya Aiba.
“Dia memberimu tumpangan gratis? Atau…”, Jun memandang Aiba curiga tanpa memperdulikan pertanyaan cowok yang lebih tinggi darinya itu.
“Apa yang kau pikirkan Jun! Dia bukan orang seperti itu kalau maksudmu aku harus membayarnya dengan tubuhku. Dan aku juga tidak mau tinggal menumpang dengan gratis… kau tahu dia itu lumpuh… dan harus duduk di kursi roda. Aku membantunya merapikan rumah, berbelanja dan memasak… Itu kesepakatan kami. Dan sekarang sebenarnya aku akan berbelanja untuk makan malam nanti jadi sekalian aku mampir kemari.”
Jun tertegun mendengar cerita Aiba. Lumpuh? Dalam pikirannya sekarang terlintas akan seseorang. Seseorang yang selalu dicintainya. Satu-satunya.
Dan walaupun sudah bertahun-tahun ia hanya bisa memendam cinta tak terbalasnya, jika ia memikirkannya saat ini… itu akan membuat hati Jun benar-benar sakit.
Lima tahun telah berlalu namun tetap saja cintanya tak berubah, perasaan bersalah itu pun masih bersarang di pikirannya.
“Hey, Jun, kau mendengarku? Kenapa kau jadi melamun…” Aiba berkata. “Tidak biasanya...” tambahnya.
“Tidak apa-apa, hanya teringat seseorang saja. Oh iya, siapa nama orang itu? Lain kali mungkin kau akan mengenalkanku padanya sebagai pacar barumu…” ujar Jun menggoda Aiba.
“Jun! Aku hanya tulus ingin mencoba menjadi sahabatnya. Dan kalau kulihat dari matanya dia sangat… sangat kesepian. Tapi tentu saja kapan-kapan akan kuperkenalkan padamu, sebagai teman tentunya.”
“Kau memang orang baik, Aiba-chan…” Jun menggumam sambil menggelengkan kepalanya pelan.
“Sakurai Sho namanya, dia seorang arsitek… hmm.. dia baru setahun bekerja jadi arsitek sih, sepertinya kelumpuhannya membuat dia harus menunda kuliahnya sampai selesai rehabilitasi.”
PRAK!
Begitu mendengar nama itu, Jun langsung menjatuhkan pot bunga yang sedang dipegangnya.
“Kau ini kenapa sih? Tadi melamun sekarang kau bahkan menjatuhkan sesuatu…” Aiba membantu Jun membereskan pot yang sekarang retak, tanah di dalamnya sedikit berceceran keluar.
“Mungkin aku sedang tidak konsen saja hari ini, sedikit lelah. Banyak pelanggan datang di bulan ini. Eh.. jam berapa sekarang? Bukannya kau mau belanja?”
Aiba memandang arlojinya, “Ahhh… benar! Yabai! Tapi..”
“Sudahlah biar aku yang membereskan ini, terima kasih sudah membantu tadi.”
“Ok.. ah… aku pergi dulu kalau begitu. Jya ne…” ujar Aiba sambil bergegas mengambil motornya yang terparkir.
Jun melihatnya menjauh dari pandangan, sebelumnya punggungnya menghilang di tikungan jalan.
Jun kemudian memalingkan pndangan kea rah sekitarnya. Dilihatnya pot yang retak itu dengan mata nanar. Kenapa takdir sepertinya tidak mau melepaskan mereka berdua.
Jun tidak menduga akan mendengar namanya lagi dari mulut sahabatnya.
Sakurai Sho, seperti pot itu, ia tidak akan pernah kembali seperti dulu. Fisik maupun hatinya. Kalau saja kecelakaan itu tidak terjadi, kalau saja Jun tidak menghancurkan hidupnya, tentu ia masih bisa bahagia dengannya, dan mungkin dia menjadi seseorang yang akan selalu berada di sisinya.
Senyuman dan tawa Sho yang selalu menjadi favoritnya, tidak akan pernah dilihatnya lagi ditujukan pada dirinya.
Jun tahu itu.
Jun tahu saat 5 tahun lalu, dilihatnya Sho terkapar bersimbah darah dikarenakan beberapa detik kejadian yang mengerikan itu.
Jun tahu saat Sho sadar di rumah sakit, dia tidak akan bisa menatap Sho seperti sebelumnya lagi… Dia tidak akan mampu membalik kejadian, bahkan jika Jun bersedia bertukar tempat dengan orang yang dia sayangi… Bahkan Tuhan pun tidak akan mengabulkan do’anya…
~*~
Author’s Note
~Shin : Kyaa~ fic kolab pertama..XDD merasa terhormat bs diajak kolab bareng saudari kiki..*eaah
Ide dasar murni dari saudari kiki, saya hnya ikut berkhayal dan menambahi sedikit di ch2 sini~
baru ini nulis fic genre romance, dan saya jg ga brni nulis NC, jdi yg itu diserahkan kepada yg lebih ahli...*blush*
doa dr para istri, smga Sho sllu sehat, dan yg terakhir...
Mari budayakan menulis!! O.O9
~Kiki : Maaf ceritanya aku paksain ! Habis sebenernya nggak tahu karena plotnya belum dimatengin blass! Dan dibikin sekali tulis, apa lagi NCnya juga ngga jadi~ Mungkin beum saatnya? LOL *abal banget sih*
Makasih udah baca sampai chapter 2… I hope U like it… Dan makasih Shino karena mau di drag buat nulis pair yang nggak aku kuasai #eh
Minna review please~ dan tunggu next chap di LJ Shin XD~ Salam^^